"Karena menikah bukan lagi hanya tentang aku atau kamu saja. Tapi segala hal telah wajib disebut 'tentang kita'."
°°°°°
Pertama kali membuka mata bukan lagi bantal guling yang aku lihat. Tapi wajah suamiku yang tertidur pulas. Aku tersenyum malu sendiri sembari menutupi muka sejenak. Lagi-lagi mataku tak bisa berhenti untuk beralih dari Zayan. Dengan ragu sebelah tanganku terangkat, aku tidak bisa menahan diri ingin menyentuh wajah teduhnya.
"Suamimu memang tampan kan?"
Aku terkejut mendapati Zayan berbicara saat matanya masih tertutup. Sebelah tangannya menarik tanganku yang masih mengambang di udara untuk benar-benar menyentuh wajahnya. Allohu, ternyata dia sudah bangun. Ketahuan curi-curi kesempatan dong aku. Malu!
Aku hanya mematung pasrah, perlahan matanya terbuka. Ia merubah posisi menjadi menghadapku dan tersenyum. Membuat jantungku berdetak lebih kencang. Dia menatapku intens sembari mengusap lembut tanganku.
Beberapa detik kami hanya terdiam, melihat sorot mata elang itu yang sampai detik ini masih tetap sama seperti dulu, tajam tapi meneduhkan. Dan entah kenapa aku masih melihat luka di sana. Akhirnya aku tak lagi malu menangkap kedua pipinya. Memberinya tatapan lembut dan menarik kedua ujung bibirku.
"Anna uhibbuka fillah, Zayan Adnan Muttaqi."
Ia menciptakan lengkung sabit terindah dari bibirnya.
"Aku lebih," ucapnya terdengar berbisik. Ia mendekatkan wajahnya. Mulai menghapus jarak di antara kami. Aku memejamkan mata setelah merasakan deru napasnya di pipiku. Dan...
Alarm di ponselku berbunyi. Aku menahan wajah Zayan dengan tanganku dan terkekeh perlahan, kemudian bangkit dan segera duduk. Zayan berdecak kesal dan menghembuskan napas kasar.
"Siap-siap dulu, keburu subuh," ucapku.
Zayan menatap datar ke arahku tanpa suara yang membuatku tak lagi bisa menahan tawa. Lucu sekali ternyata kalo lagi ngambek begitu. Perlahan aku mendekat dan mendaratkan ciuman di keningnya. Setelah hampir satu minggu menikah, sepertinya seluruh yang ada pada Zayan adalah sesuatu yang adiktif untukku. Aku kecanduan.
"Siap-siap dulu ya suami tampanku. Nanti kita kesiangan berangkatnya," ucapku lembut sembari menyerahkan handuk padanya.
"Iya, iya. Istriku bawel sekali ya," katanya seraya beranjak untuk ke kamar mandi.
Hari ini kami akan kembali ke jakarta, mungkin bukan kembali tepatnya karena sebelumnya aku memang sudah lama tinggal di sini. Lebih tepatnya memenuhi kewajibanku untuk mengikuti suamiku kemanapun ia pergi.
Ternyata Zayan meneruskan usaha Om Adrian di bidang kuliner disamping aktivitasnya yang lain sebagai pengajar. Aku tidak bisa membayangkan, semoga saja suamiku bukanlah suami super sibuk seperti dalam pikiranku.
Saat menyiapkan pakaian Zayan ke dalam koper, aku mendapati sebuah foto. Zayan kecil yang memakai seragam SMP bersama seorang perempuan berseragam putih abu-abu.
"Lihat apa, sayang?" kata Zayan mengejutkanku. Ia baru saja keluar dari kamar mandi.
Aku menunjukkan foto itu padanya yang dia balas dengan senyuman tipis, jangan lupakan luka yang berada di matanya itu. Apa sampai saat ini Zayan belum ikhlas?
"Itu kak Nasya," katanya.
Aku kembali memandangi foto tersebut.
"Cantik," pujiku.
"Iya, kaya kamu," timpalnya
"Maaf, Bang, nggak punya receh," ejekku.
"Seratus ribu juga boleh, Neng," sahutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Terakhir Bersamamu (Complete)
SpiritualNaya, gadis tujuh belas tahun itu mengalami goncangan batin yang cukup hebat saat orang yang dicintainya meninggalkanya secara sepihak. Harinya selalu dipenuhi dengan bayang masa lalu. Meski sekuat tenaga ia berlari menjauh kenangan itu seolah mengi...