Seperti biasa aku menunggu Tiko di gerbang sekolah saat ingin pulang bersama. Sudah satu setengah jam lebih sejak bel pulang berbunyi aku menunggu, namun belum juga ada tanda-tanda ia akan menampakkan diri. Suasana sekolah juga sudah mulai sepi, hanya beberapa anak yang masih berlalu lalang yang kuyakini adalah para siswa-siswi organisasi.
Tak heran jika siswa-siswi rajin itu masih berkeliaran di sekolah sebelum pak satpam mengomando mereka untuk membubarkan diri. Bahkan mungkin mereka akan menerima dengan senang hati jika mendapat tawaran untuk menginap di sekolah.
Aku berdecak kesal, lututku yang sudah terbalut plester pemberian Terang juga berdenyut sakit. Aku menekan-nekan atas plester dengan jari telunjukku.
Rasa nyeri itu kembali hadir. Bukan, bukan rasa nyeri dilutut atau di telapak tanganku yang sudah terbalut perban tapi ada di bagian yang lain entah dimana. Seiring rasa nyeri kunikmati, aku kembali mengingatnya.
"Teraaaang" aku berteriak sekeras yang kubisa. Terang yang tersadar pun menoleh ke arahku, beberapa detik selanjutnya aku sudah berada di dekatnya dan dalam waktu singkat kutarik pergelangan tanganya.
BRUKKKK!!
Karena tidak sempat mengecek lokasi sekitar saat aku menariknya, aku dan Terang terjatuh di selokan yang terletak antara lapangan dan gedung olahraga. Posisi jatuhku mungkin sangat memalukan dilihat orang. Badanku tersungkur di dalam selokan, namun kakiku terjulur di permukaan selokan.
Orang-orang di sekitar lapangan dan gedung olahraga berdatangan untuk menolong kami, termasuk dua pengendara motor tadi.
"Kamu ngga papa?" tanyaku pada Terang yang terlihat syok. Kami sudah terduduk di rumput lapangan setelah ditolong oleh beberapa siswa tadi.
Terang hanya menggeleng, kudengar hembusan napasnya sedikit memburu.
Aku mengembuskan napas lega mengetahui dia baik-baik saja. Aku tidak tahu bagaimana jadinya jika tadi aku sampai terlambat, melihat Terang tertabrak di depan mataku sendiri. Tidak, aku tidak sanggup meski mungkin tidak akan terluka parah. Mengingat di area sekolah pengendara motor memang harus melajukan motornya dengan pelan.
"Astaghfirullah, maaf bro tadi gue malah keasyikan ngobrol sampai ngga lihat lo di depan," ucap salah satu siswa yang mengendarai motor tadi merasa bersalah.
"Tidak apa-apa," jawab Terang.
"Lo ada luka?" tanya siswa satunya lagi.
Terang menggeleng."Alhamdulillah engga."
Hening sesaat.
"Astaga, lo luka. Ke UKS segera di obatin itu," pekik siswa bernama Adit, aku sempat membaca sekilas name tag di bajunya. Ia menunjuk-nunjuk tanganku.
Aku melihat telapak tangan kiriku, darah segar sudah memenuhinya. Aku baru sadar kalau tadi aku memang merasa terkena sesuatu saat jatuh di selokan, lututku pun ikut berdenyut sakit. Mungkin tadi membentur sesuatu.
"Ya Allah, Nay. Kamu terluka," nadanya terdengar khawatir, sorot matanya juga.
Aku diam di tempat memperhatikanya.
"Ayo, Nay ke UKS." Dia menggamit pergelangan tangan kananku. Aku mematung, tubuhku terangkat berdiri oleh tarikan tanganya.Aku seperti kehilangan pijakan, merasakan aliran listrik menyengat tubuhku. Terang, menggandeng tanganku? Aku pasti sedang bermimpi. Terang yang sudah setahun ini mengacuhkanku, tak berbicara padaku, bahkan enggan menatapku kini menggandengku?
"Nay, kamu ngga papa kan?" Naifa menepuk pundakku, mengagetkanku.
Tanpa sadar aku menepis tangan Terang dari pergelangan tanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Terakhir Bersamamu (Complete)
SpiritualNaya, gadis tujuh belas tahun itu mengalami goncangan batin yang cukup hebat saat orang yang dicintainya meninggalkanya secara sepihak. Harinya selalu dipenuhi dengan bayang masa lalu. Meski sekuat tenaga ia berlari menjauh kenangan itu seolah mengi...