Mataku membulat sempurna sedetik setelah runguku menangkap pernyataan dari seseorang di seberang melalui panggilan di ponsel.
"Kamu serius?" tanyaku masih tak percaya. Ini benar-benar mengejutkan sampai-sampai aku kesulitan untuk berfikir jernih.
"Iya, Nay. Gue ngga tahu jalan pikiran bokap gue tiba-tiba mutusin buat nikahin gue sama mas-mas brewok itu," sahut Naifa dengan nada tidak terima.
Aku tidak habis pikir kenapa Ayah Naifa mengambil keputusan yang menurutku lumayan gila. Naifa masih menempuh bangku kuliah semester 1, bagaimana bisa tiba-tiba dia akan dinikahkan begitu saja. Aku tahu Naifa begitu ingin serius belajar, dia ingin menjadi seorang desainer yang handal.
Detik berikutnya aku memicing curiga meski Naifa tak dapat melihat raut wajahku.
"Kamu, ngga ikut kegiatan yang macam-macam kan?" tanyaku penuh penekanan.Naifa berdehem dan menjawab secara tergagap. "Cuma karate doang Nay, sama ikut komunitas yang suka naik gunung, sih," cicitnya pelan. Tapi aku masih bisa mendengarnya.
Aku menghela napas panjang. Pantas saja. Naifa itu perempuan, hidup jauh di perantauan sama sepertiku. Bedanya, tak ada yang memantaunya seperti Mas Abyan. Dan naik gunung itu menurutku kurang baik untuk perempuan tanpa ada mahram yang menemaninya.
"Udah dibicarakan baik-baik sama Ayahmu?"
Naifa menjawab sambil bersungut-sungut. "Sudah. Tapi tetep aja gue nggak mau Nay. Si mas brewok itu bukan tipeku. Mahasiswa semester akhir di kampus gue, lulusan pesantren dulunya. Nyunnah banget penampilanya. Pokoknya bukan tipe gue, ngga cocok banget deh sama gue," cerocosnya tanpa ampun.
Aku menyimak sembari menimbang. Mendengar backround yang dijelaskan Naifa sepertinya pria pilihan ayahnya itu lelaki yang shalih. Lagi pula mereka satu kampus kan, Naifa akan ada yang menjaga.
Belum sempat aku menjawab Naifa sudah berbicara lagi." Gue masih suka sama kutu kupret Nay," katanya sendu.
Seketika aku teringat tentang pria itu. Pria yang semenjak hari perpisahan seperti ditelan bumi. Tak ada komunikasi. Tak terdengar di mana rimbanya. Tapi siapa yang kulihat tadi jika Zayan memang sedang di luar negeri, apa aku hanya berhalusinasi saja.
"Ke mana sih dia, kok gue hubungin nomernya ngga pernah aktif lagi?" tanya Naifa.
"Kamu belum tahu kalo Zayan melanjutkan pendidikan di luar negeri Fa?" tanyaku memastikan.
Dan teriakan selaras toa masjid terdengar nyaring di telinga. Sepertinya Naifa benar-benar tidak berpamitan dengan benar saat perpisahan dulu.
"Nay, gue harus gimana? Ayah nggak mau dengerin penjelasan gue, Ibu gue juga malah ngedukung Ayah. Bukankah pernikahan tidak boleh dipaksakan?"
Aku mengangguk pelan. Kudapati lirih Naifa terisak. Gadis yang beberapa menit lalu mengomel tidak jelas sembari mengumpati nama Zayan yang pergi tanpa pamit kini seolah tak berdaya ditekan keadaan. Dan aku sebagai sahabatnya merasa sangat tidak berguna karena tidak bisa membantunya menemukan solusi.
"Fa... coba kamu renungkan sekali saja. Apa yang orang tua kamu lakukan itu akan banyak membawa manfaat buat kamu atau tidak. Karena tidak ada orang tua yang ingin menjebloskan anaknya pada lembah derita. InsyaaAllah, orang tua kamu juga sudah mempertimbangkan ini dengan matang," kataku hati-hati. Aku tidak ingin semakin menyakiti perasaannya. Tapi aku juga tidak ingin Naifa gegabah terburu-buru mengambil keputusan. Apalagi ini salah satu bagian paling penting dari episode hidupnya.
Lama Naifa tak menjawab. Beberapa detik kemudian suaranya mulai terdengar lagi.
"Iya, Nay. Lo bener. Orang tua gue pasti milihin yang terbaik buat gue," katanya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Terakhir Bersamamu (Complete)
SpiritualNaya, gadis tujuh belas tahun itu mengalami goncangan batin yang cukup hebat saat orang yang dicintainya meninggalkanya secara sepihak. Harinya selalu dipenuhi dengan bayang masa lalu. Meski sekuat tenaga ia berlari menjauh kenangan itu seolah mengi...