Banyak yang mengusik pikiran seorang gadis ketika hendak menikah. Khawatir tak bisa menjadi istri yang baik, khawatir tak sesuai ekspetasi, khawatir dari hal yang satu ke hal yang lainnya. Begitu pula denganku, jika pengalaman persiapan menikah dulu aku lebih banyak senangnya, lebih banyak membayangkan yang indah-indahnya kali ini justru aku mengkhawatirkan banyak hal.
Bagaimana jika ternyata aku belum benar-benar siap? Bagaimana jika ternyata aku belum sepenuhnya sembuh dari masa lalu? Bagaimana jika aku? Ah, mungkin aku terlalu parno terhadap apa-apa yang sebenarnya hanya ada dalam pikiranku saja. Kali ini berpikir positif dan berprasangka baik pada Allah adalah hal terbaik yang harus dilakukan. Bukankah Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya?
Decitan pintu terdengar saat aku tengah memandangi gaun pengantin yang telah menggantung dengan cantik di kamarku. Gaun yang beberapa jam lagi akan kukenakan dan menjadi salah satu saksi bagaimana aku mengawali langkah baru bukan lagi hanya sebagai seorang anak, tetapi seorang istri. Sekali lagi, seorang istri! Ya Rabb aku hampir tidak percaya.
Mas Abyan masuk seraya tersenyum dan duduk di hadapanku.
"Ko belum tidur?" tanyanya pertama kali.
Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban seraya membalas senyumannya.
"Deg-degan ya udah mau jadi istri?" Godanya.
Aku nyengir dan berdecak perlahan. Tapi kata-katanya memang benar sih. Bagaimanapun tetap saja ada secuil rasa yang tak bisa kujelaskan apa namanya.
"Nggak nyangka Adek Mas yang bocil bentar lagi udah mau dibawa pergi," ucapnya seolah mendramatisir keadaan.
"Kan masih bisa ketemu," elakku.
"Ya tapi kan kalau nanti kudu pake SIM dulu," ucapnya terdengar ambigu.
"SIM?" ulangku.
"Surat Izin Mas. Mas suami." Mas Abyan tergelak.
"Ih, nggak lucu deh," kataku dengan ekspresi yg kubuat datar.
Selanjutnya kami terkekeh bersama, melambat tawa kami berubah menjadi senyuman tipis, menyadari setelah aku menikah nanti apakah aku masih bisa seperti ini dengan Mas Abyan? Tiba-tiba mataku terasa berkaca-kaca.
"Suamimu nanti adalah surga dan nerakamu, ingat selalu itu, Dik. Patuhi dia selama dia tidak memintamu melakukan hal yang dibenci Allah. Jaga selalu kehormatannya, terutama saat dia sedang jauh darimu. Begitu kan ciri utama wanita salihah dalam Al-Qur'an?" ucap Mas Abyan sambil tersenyum.
Aku mengangguk seraya meneteskan bulir air mata.
"Mas bahagia, Dik. Akhirnya kamu akan menikah. Semoga ini adalah jawaban Allah atas semua yang pernah terjadi padamu. Allah beri jawaban dengan menghadirkan Zayan dalam hidupmu. Semoga dibersamakan hingga ke surga ya," katanya semakin lirih. Detik berikutnya Mas Abyan mengecup puncak kepalaku.
Aku memeluknya erat dan menangis tak tertahan. Aku sangat bersyukur. "Terimakasih, Mas Abyan."
°°°°
"Qobiltu Nikahaha wa Tazwijaha alal Mahril Madzkuur wa Radhiitu bihi, Wallahu Waliyut Taufiq."
"Bagaimana saksi?"
"SAH! SAH!"
"Alhamdulillah."
Aku tak bisa tidak meneteskan air mata saat Zayan mengucapkan kalimat yang mampu meggetarkan arsy Allah itu dalam satu tarikan napas. Aku telah resmi menjadi seorang istri dari Zayan Adnan Muttaqi. Laki-laki yang sedari dulu sering bertengkar denganku, jail tak tertolong, dan dengan lancangnya pernah mengaku mencintaiku, meninggalkanku, dan mengajakku menikah di hari pertama kembali bertemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Terakhir Bersamamu (Complete)
EspiritualNaya, gadis tujuh belas tahun itu mengalami goncangan batin yang cukup hebat saat orang yang dicintainya meninggalkanya secara sepihak. Harinya selalu dipenuhi dengan bayang masa lalu. Meski sekuat tenaga ia berlari menjauh kenangan itu seolah mengi...