Rasa Bersalah

248 30 4
                                    

MENIKAH, siapa yang tidak tertarik dengan pernikahan. Menikah adalah perintah Allah, sunnah Rasulullah, bergelimang pahala di dalamnya. Tapi pernikahan bukanlah lomba lari yang harus saling mendahului atau terburu-buru. Menikah adalah perjalanan panjang seumur hidup. Keimanan sebagai pondasinya, ridho Allah alasannya, dan berjuang bersama masuk surga tujuanya.

Aku dan Mas Abyan keluar dari pintu bioskop. Pria di sampingku ini sepertinya memang sudah sangat mantap ingin menikah. Film yang tadi ditonton itu juga bertema rumah tangga. Sedikit banyak memberiku gambaran tentang bahtera setelah akad. Namun entah mengapa aku jadi merasa kasihan pada Mas Abyan karena pujaan hatinya belum lekas ditemukan. Padahal jika mau, Mas Abyan tinggal tunjuk saja satu di antara perempuan-perempuan yang menyukainya. Tetapi sepertinya nama Kak Alzena begitu menancap hingga titik dasar hatinya.

"Menurut Mas apakah tokoh Laila dalam film tadi akan bisa mencintai Ramadhan?" tanyaku.

Kaki kami membawa langkah memasuki Gramedia, menunaikan tugas Mas Abyan untuk membelikanku novel. Tentang tokoh Laila menggambarkan seorang gadis yang menikahi pria pilihan papanya. Padahal ia mencintai orang lain. Saat papanya diambang kematian gadis itu memutuskan untuk memberikan bakti terakhirnya kepada sang Ayah.

"Bisa aja, karena Allah maha membolak-baikan hati," jawab Mas Abyan. "Laila memilih ikhlas melepas cintanya demi bakti pada Ayahnya, bakti pada orang tua itu banyak berkahnya, Nay. Apalagi tokoh Ramadhan itu pria yang saleh, Laila memutuskan untuk menikah dengan Imannya, dia paham waktu berbakti pada orang tua tidak bisa diulang. Kalau dia punya kesempatan berbakti malah ia memberatkan cintanya pada yang belum halal. Bisa jadi yang dia kejar bukan jodohnya sedang kesempatan berbakti pada Ayahnya sudah jauh melewatinnya." Jelas Mas Abyan panjang.

Aku terdiam, kenapa aku malah jadi berpikir itu semua menggambarkan keadaan Mas Abyan.

Aku menelusuri rak-rak novel fiksi bertema religi, Mas Abyan masih setia mengekor di belakangku.

"Jadi, kalo kita menerima orang untuk dijadikan pasangan hidup meskipun nggak cinta boleh Mas?" tanyaku lagi sambil menoleh ke wajahnya.

Mas Abyan mengangguk." Menikahi orang yang kita cintai mungkin memang sangat membahagiakan. Tapi mencintai orang yang kita nikahi, di situlah letak keberadaan iman."

Aku termenung. Benar, jika pernikahan hanya mengandalkan cinta saja, lantas apa makna tentang pernikahan menggenapkan separuh agama?

Aku menoleh saat Mas Abyan menggamit sebuah novel berjudul Cinta dalam Ikhlas.

"Apa Mas Abyan benar-benar mencintai Kak Alzena?" tanyaku. Padahal sebelumnya aku hanya ingin minta pendapat Mas Abyan karena aku memikirkan Naifa yang akan dijodohkan dengan orang yang belum dia cintai.

Mas Abyan mematung. Gerakan tanganya yang tadi sedang menyapu lembar novel mendadak terhenti. Ia menatapku dengan sorot mata yang tidak bisa kuselami artinya. Untuk meresponya aku tersenyum. Namun Mas Abyan malah mengalihkan pandang dan kembali menatap novel dalam genggamanya.

"Apa menurut kamu perasaan Mas patut diragukan?" tanyanya tanpa menoleh. Tapi terdengar nada keraguan dari suaranya.

"Nay hanya takut perasaan Mas hanya atas dasar perasaan bersalah, bukan dari hati yang terdalam."

Aku merasa khawatir Mas Abyan hanya memaksakan diri dan merasa terikat dengan rasa bersalahnya. Padahal tidak ada manusia yang tidak pernah berbuat kesalahan. Dalam caranya masing-masing manusia pasti pernah khilaf. Dengan menyadari, minta maaf dan bertaubat kurasa itu sudah cukup untuk membayar bahwa kita pernah salah. Bukan malah terhakimi oleh masa lalu yang belum tentu akan lebih baik jika kita mencoba datangi lagi hari ini.

Mas Abyan terperenyak dan menyenderkan tubuhnya di rak. "Mas ngga tahu Nay," ucapnya lirih.

"Coba pertimbangkan lagi, Mas. Bukankah Mas pernah bilang bahkan dulu Mas ragu itu suka atau bukan. Jika Mas saja ragu bagaimana Mas berpikir akan menikahinya? Jangan menyiksa diri dengan perasaan bersalah, Mas. Bukankah kata Mas beberapa masa lalu hanya perlu diikhlaskan bukan lagi diberi kesempatan, barangkali Kak Al juga sudah tidak memikirkan Mas lagi" kataku.

Mas Abyan mengusap wajahnya frustrasi. Ia menghembuskan napas panjang.

"Setidaknya Mas harus bertemu dengannya sekali lagi. Baru Mas bisa memutuskan."

"Sampai kapan?"

Mas Abyan menggeleng, ia sendiri juga tidak yakin tentang hal itu. Bagaimana Mas Abyan akan menghabiskan waktu begitu lama untuk sesuatu yang belum terlihat ujungnya. Sampai kapan dia akan menunggu seseorang yang bahkan dia tidak tahu di mana keberadaanya. Seperti sengaja memenjarakan diri dalam sebuah labirin yang gelap, padahal ada pintu yang telah terbuka dan dia bisa keluar.

Aku memutuskan untuk menghentikan pembicaraan saat Mas Abyan terlihat semakin kalut. Setelah menemukan novel yang kuinginkan Mas Abyan segera membayarnya dan langsung mengantarku pulang.
Di perjalanan kami pun hanya saling bungkam, bergelut dengan pikiran masing-masing. Aku merasa bersalah telah menambah beban pikiran Mas Abyan dengan kata-kataku tadi. Seharusnya aku tak perlu bicara seperti itu dan membuat Mas Abyan terluka. Seolah aku lebih tahu apa yang terbaik untuk masa depan Mas Abyan.

Perlahan aku melingkarkan lenganku dan menyembunyikan wajah di balik punggung Mas Abyan.

"Maafin Naya ya Mas," ucapku pelan.

Mas Abyan hanya mengusap tanganku sekilas tanpa menjawab permintaan maafku. Dia malah mengalihkan pembicaraan dengan membahas kuliah dan kerjaku.

Aku bercerita yang malah lebih terdengar seperti keluhan. Tentang lingkungan kerjaku yang absurd dan seabrek tugas kuliah yang tak mengizinkanku merasakan liburan sedikit pun.

Mas Abyan terkadang tertawa saat aku mulai berlebihan menceritakan, namun tak lupa ia juga memberikan wejangan yang membuat semangatku kembali tersirami dan tumbuh.

Aku juga mengatakan bahwa aku bertemu Terang kemarin dan dia mengajakku bergabung menjadi relawan. Awalnya Mas Abyan tidak mengizinkan dengan alasan aku akan sangat lelah. Menghadapi pekerjaan dan tugas saja sering mengeluh apalagi mengikuti komunitas lain. Tapi bukankah sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya untuk sesama. Yang paling sibuk beramal salih. Jadi, Mas Abyan memutuskan untuk mempertimbangkanya terlebih dahulu dan mencari tahu info tentang komunitas yang ingin kumasuki.

Sampai di indekos aku langsung bergegas mandi dan melaksanakan salat maghrib. Kemudian aku mengirimkan alamat Zayan pada Naifa. Entah kemana takdir akan membawa orang-orang yang kucintai. Tapi semoga keputusan apapun yang mereka pilih adalah yang terbaik menurut Allah.

Ponselku berdering sesaat setelah pesan terkirim. Aku kira Naifa yang menelpon, tetapi ternyata nama Ayah yang tertera.

"Halo, Ayah?" kataku setelah sebelumnya mengucap salam.

"Halo, Nay. Kamu lagi sama Abyan nggak?"  tanya Ayah.

"Tadi iya, Yah. Tapi Mas Abyan baru aja pulang. Ada apa, Yah?"

"Ayah perlu bicara. Penting. Nomor Abyan tidak aktif. Bisa  Ayah minta tolong kamu ke kosan Mas-mu sekarang?"

Aku segera menyambar jaket dan memakai kerudung instans. Walaupun penasaran aku menahan diri untuk tidak bertanya terlebih dahulu. Kututup telepon dan segera memesan ojek online untuk ke indekos Mas Abyan. Sebenarnya bisa saja aku jalan kaki jika mau. Tapi rasanya akan lebih memakan banyak waktu. Karena jarak indekos Mas Abyan dari kosanku terbilang tanggung. Jauh tidak, dekat juga tidak.

Perasaanku mendadak menjadi tidak enak. Semoga tidak akan ada masalah lain yang tercipta.

To be continued


Jangan lupa baca Al-Qur'an 💕

🍂Senja Terakhir Bersamamu🍂

_Kebumen, 12 November 2020_

Senja Terakhir Bersamamu (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang