Aku terperangah saat baru saja selangkah menginjakkan kaki di pintu indekos Mas Abyan. Bukan karena aku melihat kamar lelaki yang berantakan bak kapal pecah seperti isu-isu yang kudengar bahwa kamar laki-laki akan identik dengan kata berantakan.
Tapi karena aku melihat kamarnya begitu rapi. Tatanan benda-benda yang ada di dalamnya serasa sangat pas berada di tempatnya masing-masing. Yang paling membuatku takjub adalah jajaran buku-buku yang tersusun dengan cantik di lemari bergaya minimalis yang mengapit kasur Mas Abyan.
"Masuk, Nay," pinta Mas Abyan saat mendapatiku masih mematung di depan pintu.
Aku melangkahkah kaki dan langsung menuju lemari buku Mas Abyan. Kutelusuri dan kusentuh satu persatu bukunya. Ada banyak sekali kitab-kitab, buku biografi, sirah, dan novel-novel pembangun jiwa lainnya. Aku merasa tercurangi, kenapa Mas Abyan tidak pernah bilang dia punya perpustakaan pribadi seperti ini. Mas Abyan juga tak pernah pulang membawa satu buku pun selain buku-buku kuliahnya.
Aku mencomot novel secara acak dan membawanya untuk duduk di atas kasur. Mas Abyan terlihat membawa dua botol air mineral dari arah dapur. Indekos Mas Abyan memang hanya terdiri dari dua petak ruangan saja. Satu kamar utama dan ruangan lain di belakang adalah dapur dan kamar mandinya.
"Katakan kenapa Mas Abyan curang sama Nay?" Tanyaku seraya meletakkan novel dan fokus menatap Mas Abyan.
Dahi Mas Abyan belipat menandakan kebingungan, "Curang gimana?"
Aku berdecak pelan, "Kenapa Mas nggak pernah bilang kalau punya perpustakaan pribadi secantik ini, " rengekku.
Detik selanjutnya Mas Abyan terkekeh.
"Iya maaf," ucapnya.Aku masih memanyunkan bibir dan meliriknya sinis. Sepertinya dia sengaja tidak memberi tahuku. Karena jika aku tahu, sudah bisa dipastikan aku akan memesan agar dia membawa novel tiap kali pulang kampung.
"Ini semua bukunya Mas?" tanyaku penasaran.
Mas Abyan menggeleng," Nggak semua, ada beberapa punya teman sama guru-guru Mas. Ini semua berawal dari waktu Mas ikut kajian, ustadnya waktu itu bahas tentang penuntut ilmu zaman sahabat dulu," ceritanya terdengar menarik.
"Oh ya? Gimana ceritanya?"
"Zaman dulu itu orang-orang rela jalan kaki berpuluh-puluh kilometer, padahal saat itu belum ada fasilitas memadai seperti sekarang. Tidak ada listrik dan kendaraan selain unta. Cuma buat apa coba?"
"Buat apa?" tanyaku lagi dengan polos.
"Ada yang cuma buat tahu satu hadits, Nay. Bayangin, cuma buat dapat satu hadits pengorbananya luar biasa. Sedangkan zaman sekarang yang fasilitas serba mudah, kajian dimana-mana, ustadnya datang sendiri, nerangin sendiri, direkam juga, tapi masih banyak yang tidak mau belajar, kalo dipikir-pikir secara mendalam sebenernya Allah itu sudah sangat memudahkan kita tapi kitanya aja yang kufur nikmat," Mas Abyan meneguk air mineralnya.
Aku mengangguk-angguk paham. Benar juga kata Mas Abyan.
"Nanti kamu bakal sering-sering Mas ajak kajian, jangan banyak main ya. Kamu harus fokus mulai sekarang. " Nasihatnya terdengar serius.
Sejujurnya aku beruntung berada dekat dengan Mas Abyan, selain diawasi oleh Allah, Mas Abyan juga menjadi perwakilan Ayah untuk menjadi pengawasku. Aku sama sekali tak merasa terbebani dengan ini.
Sejak dua minggu yang lalu aku memang sudah berangkat ke Jakarta. Melewati berbagai proses awal mula menjadi mahasiswi baru, ospek, beradaptasi lagi. Semua itu membuatku lelah dan sedikit khawatir. Pasalnya aku bukan orang yang bisa dengan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Bagaimana jika aku tidak bisa mengimbangi cara hidup orang-orang milenial di kota ini? Bagaimana pun aku hanyalah gadis desa yang sangat minim pengalaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Terakhir Bersamamu (Complete)
SpiritualitéNaya, gadis tujuh belas tahun itu mengalami goncangan batin yang cukup hebat saat orang yang dicintainya meninggalkanya secara sepihak. Harinya selalu dipenuhi dengan bayang masa lalu. Meski sekuat tenaga ia berlari menjauh kenangan itu seolah mengi...