Yang Sebenarnya

425 43 12
                                    

Aku tak bisa merasakan apapun selain tubuh yang bergetar hebat dalam pelukan seseorang. Pandanganku kosong dan suara kerumunan orang-orang di sekitarku seolah tertelan. Tubuhku lemas dan rasanya aku tak sanggup untuk bergerak sedikit pun. Bahkan untuk bernapas dengan benar.

"Dasar bodoh! Kau gila!" Maki seseorang dengan suara bisikan yang pilu namun mampu mendobrak pendengaranku seiring dengan kesadaranku yang perlahan berhasil kembali.

Aku mendongak perlahan, menatap dua manik mata yang memerah dan wajah yang cemas luar biasa. Sorotnya menggambarkan duka yang siapapun saat melihatnya pasti paham dia menderita.

Air mataku menetes bersamaan dengan air matanya yang jatuh ke dahiku.
"Gue ngga akan pernah memaafkan diri sendiri kalau sampai terjadi sesuatu sama lo," ucapnya lagi bersama isakan. Pelukanya semakin mengerat.

Otakku belum bisa mencerna semuanya. Namun ada perasaan yang menjalar ke dalam hatiku.

"Mas, dipindahin dulu mbaknya ke teras musola saja. Ada luka atau tidak?" Ucap seorang Bapak berbaju biru di depanku.

"Biar gue, Yan," ucap lelaki yang kukenali suaranya. Ia mencoba mengambil alih diriku dari dekapan Zayan. Kesadaranku sudah mulai normal. Saat ini posisi kami memang masih berada di pinggir jalan. Aku merasakan tadi ada yang menarik tas ranselku saat dalam keadaan bahaya yang sudah kupasrahkan.

Zayan menarikku dan membuat kami terjatuh di atas batu-batu kerikil di tepian jalan raya.

"Jangan sentuh dia!" Ucap Zayan dingin seraya menepis tangan Terang.

"Zayan aku bisa sendiri," kataku mencoba mencegah kemarahannya. Namun, dia tidak mendengarkan dan tetap membopong tubuhku. Aku yang tidak siap dengan gerakannya cukup terkejut dan otomatis mengalungkan tangan di lehernya.

Dia membawaku ke teras musola yang letaknya dekat dengan tempat kejadian tadi. Aku duduk menyender pada pilar musola dan mulai merasakan sakit di bagian tangan. Mungkin tadi membentur sesuatu. Kesadaranku sudah sepenuhnya kembali.

Zayan menyodorkan air mineral yang langsung aku minum dua tegukan.

Satu persatu orang-orang bubar setelah aku menjawab keadaanku baik-baik saja. Menyisakan kami bertiga. Aku, Zayan, dan juga Terang.

Aku menatap Terang yang sedang menatapku dengan pandangan terluka. Wajahnya yang lebam-lebam membuatku menggigit bibir menahan nyeri. Pasti sakit bukan? Sedari tadi dia hanya diam seperti itu. Seolah ingin mengucapkan sesuatu tapi takut hanya memperkeruh suasana.

Aku ingin bertanya banyak hal padanya. Mengapa dia bisa sampai berkelahi di jalan seperti tadi. Tapi semua tanya itu tenggelam saat aku melihat Zayan yang masih terduduk di samping ku. Dia hanya menunduk seolah sedang memikirkan hal yang berat.

"Ada yang sakit?" ia mendongak menatap wajahku yang kujawab dengan gelengan kepala.

"Jangan pernah bertindak bodoh lagi. Apalagi hanya karena orang bodoh yang ngga tahu caranya menghargai perasaan orang lain," ucapnya tajam.

Aku tahu kata-kata itu Zayan ucapkan untuk menyindir Terang. Dan aku yang merasa paling bersalah membuat mereka dalam suasana seperti ini.

Bola mataku melebar saat menangkap seragam putih Zayan berubah menjadi merah di bagian bahunya. Dasar anak ini, dia yang terluka kenapa sibuk mempertanyakan luka orang lain.

Akhirnya aku membawanya ke puskesmas terdekat yang berada di seberang jalan. Awalnya aku juga mengajak Terang untuk mengobati lukanya. Namun, ia menolak dan mengatakan akan mengobatinya sendiri. Kurasa dia mengerti situasi dan pamit pulang meninggalkanku bersama Zayan. Semoga dia baik-baik saja.

Senja Terakhir Bersamamu (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang