" Apaaa!!"
Aku menjatuhkan ponselku yang baru saja menjadi perantara penyampaian berita yang membuat telingaku serasa berdengung sekaligus mengejutkanku. Lututku mendadak lemas dan tubuhku ambruk terduduk di atas lantai kamar. Air mata perlahan mulai berjatuhan di dataran pipiku.
Sekarang aku sungguh-sungguh semakin percaya bahwa setiap perkataan memang akan menjelma menjadi do'a.
Pikiranku bercabang kemana-mana, ada rasa bersalah yang perlahan menyelusup.
Terdengar pintu kamarku diketuk dengan ritme yang tak santai,"Nay, kamu kenapa teriak? Buka pintunya sayang." Suara Ibu terdengar khawatir.
Aku merasa tidak bisa menggerakkan tubuhku, masih tidak percaya dengan semua ini.
"Ya Allah, Nay. Jangan buat Ibu khawatir," kata Ibu lagi seraya mengetuk pintu lebih keras.
"Biar Ayah dobrak saja!" Kini suara Ayah yang terdengar.
Aku bangkit dengan susah payah. Sebelum Ayah berhasil merusak pintu kamarku lagi seperti dahulu aku sudah lebih dulu memutar knop pintu dan membukanya.
Dulu saat aku baru saja berpisah dari Terang, aku mengunci diri di kamar seharian penuh. Tanpa selera makan dan berbicara dengan siapapun. Alhasil, Ayah mendobrak pintu kamarku hingga terlepas dari posisinya. Benar-benar kekuatan seorang Ayah saat mengkhawatirkan putrinya bisa bertambah berkali-kali lipat.
Aku membuka pintu selebar mungkin dan mendapati Ayah, Ibu, serta Faiz adikku yang semuanya menunjukkan raut muka khawatir. Ibu berjalan menghampiriku dan mengusap bahuku pelan," Kamu kenapa nangis? Tanyanya lembut.
"Za.. Zayan dan Terang.. ke.. kecelakaan." Jawabku terbata.
*
Hentakan kaki yang bersentuhan dengan lantai terdengar jelas di lorong-lorong rumah sakit ini. Aku dan Ayah berjalan tergesa-gesa mencari ruang VIP tempat Zayan dirawat. Jantungku berdetak kencang memikirkan segala kemungkinan yang terjadi pada Zayan dan Terang. Mengapa sampai harus ditangani di ruang khusus VIP, aku berpikir Zayan maupun Terang mengalami luka yang serius dan membutuhkan ruangan yang lebih tenang dan nyaman.Aku menangis sepanjang jalan menuju rumah sakit diboncengan motor Ayah. Perasaan bersalah menggerogoti hatiku. Kalau saja aku tadi tidak memaksa Zayan mengantar Terang, semua ini tidak akan terjadi. Zayan tidak ikhlas melakukanya.
Tadi seorang perawat menelponku, memberi tahu bahwa seorang siswa bernama Zayan kecelakaan lantaran menabrak tiang listrik, persis seperti ucapanya. Dasar pria itu, asal saja saat bicara.
Perawat itu tak menemukan kontak dengan nama Ayah, Ibu dan sejenisnya yang bisa diduga sebagai keluarganya. Akhirnya perawat itu menelpon nomorku yang memang ada diposisi teratas kontak Zayan.
Ayah langsung mengantarku ke sini karena aku mendesak Ayah, khawatir belum ada keluarga Zayan yang datang.
Setelah aku menemukan ruanganya, aku berhenti sejenak di depan pintu. Mengatur irama napasku dan menyiapkan mental untuk melihat keadaan di dalam sana. Bismillah ...Aku memutar knop pintu dan membukanya perlahan dengan perasaan yang tidak karuan.
Aku berdiri membeku di depan pintu.
Lima detik ...
Sepuluh detik ...
Tiga puluh detik ...
Pemandangan di depan mataku sungguh membuatku tercengang. Rasa khawatir yang sedari tadi melandaku berganti menjadi rasa bingung.
Seorang pria terduduk di atas ranjang rumah sakit dengan pakaian piyama tidurnya dan fokus menatap layar dua dimensi yang kelewat lebar di hadapanya. Dipangkuanya terdapat satu toples makanan ringan yang sedang menjadi santapanya. Di alis kirinya terdapat satu plester yang menutupi sebagian alisnya. Sepertinya dia juga tidak sadar jika ada aku yang baru masuk ke ruanganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Terakhir Bersamamu (Complete)
SpiritualNaya, gadis tujuh belas tahun itu mengalami goncangan batin yang cukup hebat saat orang yang dicintainya meninggalkanya secara sepihak. Harinya selalu dipenuhi dengan bayang masa lalu. Meski sekuat tenaga ia berlari menjauh kenangan itu seolah mengi...