Langkah Waktu

220 25 1
                                    

"Selamat pagi, Mbak Nay," sapa pria paruh baya berseragam putih dengan ramah.

"Pagi, Pak Salim," balasku seraya tersenyum.

Aku melangkah memasuki loker untuk menyimpan tas, senyumku mengembang dan kusapa satu-persatu para karyawan yang masih di loker.

Inilah rutinitasku sekarang. Senin hingga jum'at aku bekerja hingga pukul setengah empat sore. Untuk kemudian pulang ke indekos dan mengikuti kuliah online hingga pukul sembilan malam. Hari weekend aku tidak bisa berlibur seperti orang lain karena aku harus pergi ke kampus untuk praktikum atau kuliah tatap muka.

Meskipun lelah, tapi aku sungguh menikmatinya. Aku merasa waktuku lebih berguna dan produktif. Aku pun mencoba mengikuti UKM Lembaga Dakwah Kampus untuk memperluas pertemanan dengan orang-orang salih. Sesekali Mas Abyan mengajakku kajian saat dia sedang tidak sibuk dengan revisi skripsinya. Terkadang aku juga pergi sendiri mengingat sudah beberapa bulan aku di kota ini. Sudah lumayan banyak tempat yang aku kunjungi.

"Nay, laporan akhir bulan nanti tolong kirim ke email saya ya," ucap seseorang dari belakang saat aku melakukan fingerprint.

Aku refleks bertakbir karena terkejut, kebiasaan kagetanku belum hilang juga sampai saat ini.

Pria yang tadi memanggilku itu terkekeh dan tersenyum miring. Memang begitu wajahnya. Orang-orang yang tidak tahu sikap aslinya pasti akan menilainya sangat menyebalkan hanya dengan melihat gaya bicaranya. Dia adalah Pak Saif, supervisor di dapertemen tempatku bekerja. Supervisor paling jail tapi paling peduli dengan para karyawannya.

Aku mengangguk dengan canggung. "Nanti segera saya kirimkan, Pak," kataku.

Menjadi seorang admin tak semudah yang kubayangkan sebelumnya. Aku memilih pekerjaan ini karena merasa posisi itu cocok denganku. Aku akan menghabiskan banyak waktu di depan komputer dan tak berinteraksi dengan banyak orang.

Namun nyatanya semua tak seindah dalam ekspetasiku. Tiap hari aku tak hanya dihadapkan dengan banyak data yang keluar-masuk, tapi juga diwajibkan menemui banyak orang. Tiap posisi karyawan di departemenku akan melapor hasil pekerjaan dan akulah yang menyusun laporanya. Departemen lain yang mengantar barang pun harus melalui diriku. Menerima telepon dari berbagai departemen juga menjadi tugasku. Rasa-rasanya aku ingin berteriak kencang saat semua tugas-tugas itu menyerangku secara bersamaan.

Namun di lain waktu kadang aku tak sibuk sama sekali, seharian hanya membuat laporan yang bisa kukerjakan kurang dari 1 jam. Selebihnya aku mengantuk dan berkeliaran kemana pun mencari hal yang bisa kukerjakan.

Manusia memang tidak pernah ada cukupnya dan kurang rasa terima kasihnya kepada Allah. Seolah diberikan apapun selalu memiliki celah untuk mengeluh. Astaghfirullah...

"Dede Nay aku minta laporan pengembalian barang kemarin ya."

Aku mendongak dan melihat seseorang masuk ke ruang kerjaku. Dengan tidak sopanya dia langsung menarik kursi milik supervisor di sebelah mejaku dan memindahkannya tepat di depanku. Panggilan itu seperti sudah melekat di pendengaranku setiap waktu. Karena tubuhku yang pendek orang-orang menyematkan kata dede untuk memanggilku. Bahkan orang yang usianya lebih muda dariku pun memanggilnya demikian. Sudahlah, terserah kalian saja!

"Iya sebentar," jawabku sekenanya dan kembali fokus pada layar komputer.

Aku melirik sekilas ke arahnya saat beberapa waktu ruangan menjadi hening. Biasanya dia akan terus mengajakku mengobrol tanpa spasi dan membuat kepalaku pusing. Saat kudapati ia sedang menopang dagunya seraya memperhatikanku pandanganku menajam.

"Awas di colok malaikat," ketusku.

Pria itu tergelak dan merubah posisinya menjadi bersandar di kursi.

Senja Terakhir Bersamamu (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang