"Jadi... Nak Zayan berniat meminang putri saya?" tanya Ayah dengan wajah serius.
Mungkin Ayah juga syok karena tiba-tiba dikejutkan dengan hal seperti ini. Karena memang sejak kejadian gagal dulu aku sangat menghindari pembahasan perihal pernikahan. Tiap kali ada yang ingin melamar atau ingin memulai ta'aruf aku selalu menolak dengan alasan ingin fokus kerja dulu. Ayah pun tak pernah memaksaku dan tak pernah membicarakan hal-hal yang mengarah ke pernikahan.
Zayan mengangguk mantap.
"Kalau om mengizinkan, saya akan segera bawa papa saya ke sini untuk mengkhitbah Naya secara resmi," kata Zayan.
Ayah menatapku seolah meminta pendapat. Aku meminta izin pada Zayan untuk berbicara dengan Ayah di ruang tengah sebentar. Meninggalkan Zayan dan Mas Abyan di ruang tamu.
"Gimana, nduk?" Tanya Ayah pertama kali.
"Naya nggak tahu Yah." Aku menunduk dalam.
"Mau sampai kapan, nduk? Ini sudah tiga tahun lamanya," ucap Ayah.
Aku mendongak dan memusatkan perhatian pada Ayahku sepenuhnya. Wajah Ayah semakin tampak lebih tua dari pada usianya. Meskipun aku dan Mas Abyan sudah berikrar untuk sama-sama menanggung kebutuhan keluarga. Ayah tetap bersikeras ingin bekerja. Ayah bilang badanya bisa pegal-pegal kalau tidak melakukan aktivitas apapun, padahal aku tahu Ayah hanya tidak ingin merepotkan anak-anaknya. Bahkan diam-diam selama ini disamping membiayai pendidikan kami dulu, Ayah sudah bekerja keras menabung untuk Faiz agar bisa menjadi dokter seperti impiannya.
"Kamu masih perlu waktu untuk sembuh?" tanyanya halus dengan tatapan yang hangat.
Aku menggeleng. Bukan isyarat sebagai jawaban yang menyiratkan kata tidak tapi karena lagi-lagi aku tidak tahu. Aku tidak mau salah lagi mengambil langkah.
"Sebagaimana orang yang sakit kepala, maka dia harus meminum obat sakit kepala. Dan untuk hati yang terluka karena cinta, maka obatnya adalah cinta yang baru," ucap Ayah seperti penyair.
Aku mencerna kata-kata yang Ayah ucapkan. Sisi lain dari hatiku membenarkan, tapi benteng waspada selalu menjeratku untuk tak lagi sembarangan mengambil keputusan.
"Ayah ingin segera melihat Naya menikah?"
Ayah mengangguk dan tersenyum, kemudian mengusap puncak kepalaku.
"Nak, Ayah sudah tahu tentang Zayan." Alisku berkerut.
"Sebenarnya selama ini Ayah berkomunikasi dengan Pak Adrian. Kami sering berkabar. Ketika dulu kamu dilamar, Pak Adrian sempat bilang kalau dia telat. Padahal dia ingin sekali melamarmu untuk Zayan. Ayah kira hanya bercanda, tapi ternyata Zayan benar-benar datang malam ini kendatipun Ayah tak pernah sekalipun bilang pada Pak Adrian jika dulu kamu tidak jadi menikah," jelas Ayah.
"Tapi Ayah tidak akan pernah memaksamu. Semua terserah kamu." Ayah kembali mengusap puncak kepalaku sekali lagi dan membalikkan badan, aku memanggilnya sebelum Ayah membuka tirai hendak kembali ke ruang tamu.
"Yah, izinkan Zayan membawa papanya ke sini." Aku tahu aku baru saja membuat keputusan yang besar dan penuh risiko yang belum kutahu bagaimana rupanya.
Ayah menoleh dan tersenyum kearahku yang kubalas dengan senyuman yang sama.
Setelah mendapatkan jawaban untuk datang melamar secara resmi Zayan undur diri. Aku dan Mas Abyan mengantarkanya sampai ke depan rumah. Melihatnya sampai motornya hilang dari pandangan.
"Mas kok seperti pernah melihat dia tapi lupa di mana ya?" Kata Mas Abyan.
"Mungkin yang Mas lihat itu Rayan. Zayan memang punya kembaran yang pernah kuliah di Jakarta dulu sebelum pindah ke Mesir," jelasku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Terakhir Bersamamu (Complete)
EspiritualNaya, gadis tujuh belas tahun itu mengalami goncangan batin yang cukup hebat saat orang yang dicintainya meninggalkanya secara sepihak. Harinya selalu dipenuhi dengan bayang masa lalu. Meski sekuat tenaga ia berlari menjauh kenangan itu seolah mengi...