Menjemput Hidayah

995 58 0
                                    

Hari minggu yang cerah, secerah gamis yang kukenakan. Aku membenahi khimar dusty pink yang berwarna senada dengan gamisku. Kupasang masker dan menyambar tas selempang dari atas nakas.

"Sarapan dulu, Nay," ucap Ibu yang sedang menata makanan di atas meja. Seketika aromanya menggoda cacing-cacing di perut. Tapi aku tak bisa karena aku harus berangkat lebih pagi melalui jalan terobosan menuju masjid Agung di dekat alun-alun kota.

"Nanti di sana aja Bu. Nay mau ngehindarin razia jadi harus berangkat pagi."

Aku memang belum punya SIM sendiri. Jadi kalau pergi kemana-mana membawa motor harus ekstra hati-hati. Ada kajian di masjid Agung yang kuketahui dari story whatsApp temanku. Tema kajianya tentang hijrah. Entah dorongan kuat dari mana aku ingin sekali mengikuti kajian itu meskipun jaraknya cukup jauh dari rumah. Kukira mendengar kajian dari media youtube saja tidak cukup. Alhasil dengan modal nekad dan izin orang tua aku memutuskan berangkat.

Aku melajukan motor dengan kecepatan sedang. Di perjalanan tak sengaja mataku menangkap keberadaan Azrina sedang berdiri di pinggir jalan. Aku menepikan motor untuk menyapanya.

"Azrina lagi nunggu angkot?" tanyaku.

Gadis itu mengangguk. Namun, matanya seolah sedang menebak-nebak siapa diriku. Maklum sebelumnya aku sangat jarang memakai gamis dan khimar. Apalagi sebagian wajahku tertutup masker. Dia pasti kesulitan mengenaliku.

"Aku Naya, Na."

Mata indahnya membulat. Senyumnya merekah dengan cantik. Fix, Tiko bakal jadi orang yang paling rugi jika menyia-nyiakan berlian seperti Azrina.

"Masyaa Allah ... Naya. Aku sampai pangling," ucapnya.

Aku terkekeh dan menggaruk tengkuk yang tiba-tiba gatal.

"Mau ke mana?" tanyanya.

"Masjid Agung nih, mau belajar."

"Masyaa Allah ... aku juga mau ke sana. Alhamdulillah aku dapat teman hijrah lagi," katanya semringah.

"Ya udah bareng aja, yuk." ajakku.

"Emang ngga ada polisi?"

"Kita lewat jalan pintas. Cuma kita harus cepet karena harus lewat jalan depan sana dulu. Biasanya ada razia di sana."

Aku menyerahkan helm pada Azrina. Aku memang selalu membawa helm cadangan ke manapun. Siapa tahu ada yang membutuhkan atau mau nebeng denganku. Hampir tiga tahun menjadi tukang tebeng membuat hatiku tergerak untuk berbagi kebahagiaan pada orang lain juga. Karena aku tahu bagaimana bahagianya mendapat tumpangan gratis, bisa hemat uang saku. Hehe.

"Ngga ngrepotin nih, Nay?"

"Kamu kaya sama siapa aja."

Akhirnya aku berangkat bersama dengan Azrina. Sejujurnya aku bersyukur bertemu Azrina. Karena aku pasti nanti bakal bingung di sana. Ini pertama kalinya aku mengikuti kajian remaja dan jauh dari rumah. Biasanya aku mengikuti kajian di masjid dekat rumah saja bersama Ibu. Itu pun jarang karena aku selalu pulang sekolah menjelang maghrib.

Aku yakin Azrina sudah seringkali mengikuti kajian. Aku bisa bertanya banyak hal padanya dan pergi bersamanya lain waktu.

Sekitar satu jam perjalanan kami sampai di halaman masjid. Aku memarkirkan motor di tempat yang sudah disediakan panitia.

Aku terdiam menatap para remaja yang berbondong memasuki masjid. Ternyata masih banyak remaja yang mau belajar ilmu agama di tengah mereka yang sibuk mencari dunia.
Ya Allah ... selama ini aku kemana saja?

Gamis lebar dan khimar panjang yang menutup setiap lekuk tubuhnya terlihat begitu menawan di mataku. Aku merasa sangat kecil dibandingkan dengan mereka. Bahkan khimarku tak sepanjang yang mereka kenakan. Hanya sebatas menutupi dada saja.

Senja Terakhir Bersamamu (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang