Matahari sudah berada ditengah-tengah hamparan lautan awan. Sinarnya begitu terik membuat pucuk rumput di lapangan berwarna kecoklatan.
Sang merah putih masih berkibar dengan gagahnya meski tubuhnya kepanasan.
Aku terduduk dilantai. Menyenderkan tubuhku di rak buku yang berhimpitan dengan tembok.
Alunan musik terdengar di perpustakaan yang cukup luas ini. Liriknya terdengar menyedihkan seakan mewakilkan apa yang kini sedang kurasakan.Mataku membaca huruf demi huruf, kata demi kata yang berpadu menjadi kalimat dalam sebuah novel karya pengarang kesukaanku.
Sudah sedari pagi aku duduk di sini. Namun, aku masih betah membolak-balikan lembar demi lembar novel yang berada dalam genggamanku. Sesekali aku mengusap anak sungai yang mengalir di pipiku dengan tisu. Entah kenapa aku seperti betah menyiksa diri sendiri. Hatiku patah sejak lama. Ah, bukan patah lagi, tapi hancur. Namun aku malah membaca buku-buku sedih yang pilu .
Alunan musik semakin lama semakin mendramatisir suasana ini menjadi lebih syahdu.
Mengapa rasanya sakit sekali?
Hatiku menjerit, namun tak bersuara. Air mataku kembali tumpah.Begitulah aku, perempuan patah hati.
Yang menganggap semua novel sedih seperti cerita hidupku. Lebih tepatnya cerita asmaraku. Aku bisa menangis tersedu-sedu saat membaca dan menghayati sebuah novel yang ku anggap mirip dengan kisahku.Aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, pukul 11.45. Sebentar lagi sholat duhur. Aku beranjak dari kenyamananku, melipat halaman novel yang sedang kubaca kemudian menaruhnya di rak perpustakaan.
Aku berjalan kearah meja depan kemudian menyapa pustakawan dan pustakawati yang beberapa bulan ini mulai akrab denganku.
"Mas Ris, Mba Ani. Sholat dulu, ya," pamitku pada mereka.
"Yo," Mas Risky menjawab sambil terus menatap layar komputer di hadapanya. Sedangkan Mba Ani hanya mengangguk dan tersenyum ke arahku.
Aku menelusuri koridor gedung sekolahku yang cukup luas ini menuju mushola. Sekolahku adalah sekolah rujukan nasional yang mendapat predikat smk adiwiyata.
Jika dilihat dari suasananya yang sangat asri dan hijau dengan berbagai macam tanaman dan pepohonan sekolahku memang pantas menyandang predikat demikian.
Selain suasana yang sejuk, para siswa-siswinya juga terkenal cukup pintar. Jadi, tak hayal jika sekolah tercintaku ini banyak digandrungi oleh para lulusan sekolah menengah pertama.
Meski peraturan di sekolahku cukup ketat dan tak segan-segan mendapat sangksi tegas saat ada yang berani melanggar. Tapi tetap saja sekolahku ini menjadi sekolah favorit.
Aku sangat bangga bisa menjadi salah satu bagian dari sekolah ini. Mengingat banyaknya kawan seperjuangan yang tak lolos saat pendaftaran dulu. Aku merasa sangat beruntung bisa berhasil setelah melewati proses yang sangat panjang.
Meski ku akui alasanku dulu mendaftar di sekolah ini adalah karena sesuatu yang sama sekali tak patut dicontoh.
Langkah kakiku terhenti tepat di depan ruang tata usaha saat kurasakan ada yang menarik ujung jilbabku.
Ia sedikit terperangah saat aku membalikkan badan.
"Busyet dah, tu mata kenape neng gede amat kaya bola kasti," celetuk Zayan, teman satu kelasku.
"Brisik ah, sono lu jauhan dikit." usirku sembari mengibas-ngibaskan tangan.
"Yaelah galak bener. Udah move on aja model kaya gitu aja ditangisin."
Ya, dia Zayan. Teman satu kelasku yang menurutku termasuk spesies manusia paling konyol di dunia. Sering bertingkah aneh dan gila diluar apa yang bisa dinalar oleh manusia. Untung saja peringainya itu tertolong oleh otak encernya juga parasnya yang bisa dibilang cukup lumayan enak dipandang.
Entah sejak kapan aku dan Zayan mulai akrab bahkan aku sudah sering curhat masalah pribadiku padanya. Mungkin karena dia terkenal pandai menyimpan rahasia jadi tak hanya aku saja, banyak anak di kelasku yang berteman akrab denganya.
Aku kembali melangkahkan kaki ke mushola tanpa menghiraukan lagi kicauan Zayan.
Mushola masih sepi belum ada yang menginjakkan kaki di rumah Allah ini.
Berbanding terbalik dengan suasana kantin yang berada persis di sebelah mushola. Kantin sudah dipadati penduduk sekolah ini sampai-sampai aku tidak bisa melihat Bu kantin yang pastinya sedang kebanjiran rezeki.
Benar-benar jiwa muda yang perlu dicharger imannya. Saat kutanya salah satu temanku kenapa lebih memilih makan dulu dari pada sholat dulu.
Dan dia menjawab.
"Kalau makan dulu kan nanti sholatnya jadi khusuk, kalo sholat dulu pasti susah buat khusuk karena terbayang bayangan soto ayam bu kantin yang bahkan aromanya sudah tercium dari dalam mushola."Alasan yang cukup masuk akal, sih.
Aku bergegas mengambil air wudhu lalu segera masuk ke mushola. Mataku sepertinya sudah sembab lantaran banyak menangis tadi. Hatiku tak henti merapal do'a.
Terdengar decitan pintu yang bersentuhan dengan lantai di ruang sebelah. Tempat siswa laki-laki melaksanakan sholat. Beberapa menit kemudian ..
"Allohuakbar ... Allohuakbar ...."
Deg !
Waktu seakan melambat. Hanya jantungku yang terasa bergerak lebih cepat. Hembusan napasku sedikit sesak dalam rongga dada.
"Terang ..." bisikku lirih pada diri sendiri.
Entah mengapa rasanya masih sakit jika mengingat kejadian satu tahun lalu saat Terang meninggalkanku.
Entah mengapa kapasitas memori otakku masih menyimpaan detail setiap kenangan bersama makhluk bernama Terang itu.
Padahal aku tau mengingatnya hanya akan membawa lara yang menyiksa.
Seiring kumandang adzan yang dilafalkan Terang, kenangan membanjiri pikiranku. Air mataku terus menetes membasahi mukena yang ku kenakan. Seketika datang ribuan kenangan menggelayuti pikiranku dan menikam tajam perasaanku.
Kenangan itu berputar-putar dikepalaku dan membuatku pening . Kupijit dengan keras pelipisku saat bayangan itu datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Terakhir Bersamamu (Complete)
SpiritualeNaya, gadis tujuh belas tahun itu mengalami goncangan batin yang cukup hebat saat orang yang dicintainya meninggalkanya secara sepihak. Harinya selalu dipenuhi dengan bayang masa lalu. Meski sekuat tenaga ia berlari menjauh kenangan itu seolah mengi...