Rahasia Luka

252 27 8
                                    

Aku tersenyum melihat gadis mungil beserta bayinya di ujung telepon. Naifa, sahabatku yang pernah memiliki jiwa petakilan tingkat tinggi itu kini telah bertransformasi menjadi wanita yang sangat kalem dan bersahaja. Ia telah dikaruniai dua putri yang cantik, sangat mirip dengan Naifa.

"Kamu sudah yakin dengan keputusanmu, Nay?" tanyanya. Raut wajahnya terlihat cemas kulihat dari layar ponselku.

"Bismillah, Fa. Aku percaya pada pertolongan Allah," jawabku meyakinkannya.

Naifa menghembuskan napas beratnya. Ia tersenyum manis. "Semoga Allah melancarkan dan memberkahi semuanya ya. Awas aja kalau sampai Si Gelap melukaimu lagi!" Senyum manisnya berganti menjadi wajah garang.

Aku terkekeh geli, setelah sekian lama, aku mendengar julukan itu lagi. Si Gelap. Mendengarnya aku jadi teringat Zayan.

"Hey, berhentilah memanggilnya si Gelap. Asal kau tahu saja dia semakin putih dan bersinar," ucapku menggodanya.

Naifa berdecih pelan. "Ngomong-ngomong bahas Si Gelap aku jadi teringat kutu kupret. Pernah mendengar kabarnya, Nay?"

"Cieee, inget masa lalu," godaku lagi, Naifa semakin menunjukkan muka kusutnya.

"Setelah lulus aku sama sekali belum pernah bertemu Zayan lagi. Bahkan surat darimu tak dibalas. Tapi sesekali aku sering tak sengaja bertemu papanya."

Naifa mengangguk-angguk. Suaminya datang dan mengambil alih bayi dalam gendongannya. Sungguh, melihat rumah tangga sahabatku yang terlihat sangat harmonis dan mengasihi satu sama lain, aku ikut merasakan kebahagiaannya. Aku berdo'a semoga kelak aku juga memiliki keluarga yang seperti itu.

Naifa kembali memfokuskan perhatiannya padaku.

"Sebenarnya aku malah pengin kamu sama Zayan," ucapnya tiba-tiba yang langsung membuatku tersedak. Aku baru saja meminum dua teguk air putih.

"Maksudnya?" Tanyaku tak mengerti.

Naifa tersenyum. "Aku tahu Zayan mencintaimu, Nay."

Deg!

Naifa tahu? Sejak kapan?

Beberapa waktu aku hanya terdiam. Mendapati wajahku yang mungkin terlihat konyol Naifa malah tertawa terpingkal-pingkal.

Gadis itu, maksudku wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya heran.

"Jangan menampilkan wajah begitu. Kamu terlihat seperti orang menahan buang air," kelakarnya.

Aku tersenyum kikuk dan menggaruk tengkuk. Jujur saja hatiku belum kembali normal. Aku masih penasaran kenapa Naifa bisa tahu.

"Baiklah. Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Biar aku jelaskan." Naifa memperbaiki posisi duduknya.

"Kamu ingat hari di mana Zayan marah waktu itu setelah berdebat denganku perihal fotokopi tugas?"

Ingatanku mengembara, lalu mengangguk perlahan.

"Aku melihatmu dan Zayan di UKS, dan aku mendengar saat Zayan bilang mencintaimu," jelas Naifa.

Aku terperangah tak menyangka. Jadi, Naifa sudah tahu sejak pertama kali Zayan mengatakannya.

"Kamu ingat beberapa waktu setelah itu aku mengatakan padamu kalau aku menyukai Zayan?"

Lagi-lagi aku mengangguk, Naifa bercerita dengan tenang. Tapi mataku malah berkaca-kaca. Mungkin saja selama ini Naifa memendam luka karenaku.

"Maafkan sahabatmu ini Naya. Aku sengaja melakukannya. Aku ingin tahu bagaimana reaksimu. Sungguh jika Zayan dulu memang benar-benar mencintaimu aku akan melepaskannya dengan sangat rela. Tapi justru dulu aku memiliki keraguan padamu," ungkapnya. Raut wajah Naifa menyiratkan rasa bersalah.

Senja Terakhir Bersamamu (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang