Awkward Day

926 48 2
                                    

"Memaafkan memang lebih mudah, tapi bersikap seperti biasa setelah sekian lama tak semudah itu memang."

🍁🍁🍁🍁🍁

Aku terduduk di teras mushola sekolah, menyibukkan diri memakai sepatu dengan fokus. Sebuah kertas tiba-tiba melayang dan mendarat tepat di pangkuanku.

Aku mengernyit, kuraih kertas itu. Membaca untai tulisan yang tertera di atasnya.

"MAU JADI PACARKU?" tulisan berupa pertanyaan itu tertulis besar dengan huruf kapital. Aku mendongak, jarak lima kaki di hadapanku berdiri seorang pria dengan wajah seriusnya. Matanya memandangku tanpa berkedip, kontan aku menundukkan wajahku.

Kuraih tas di sampingku, mengambil pulpen di dalamnya. Kemudian kutulis tiga kata yang mewakili jawabanku.

"Maaf saya singelillah."

Kusodorkan kertas putih itu tanpa memandangnya. Setelah kertas berpindah tangan aku segera bangkit dan pergi dari sana.

Cut !

Aku mengembuskan napas lega mendengar instruksi itu.

"Gimana?" tanyaku pada Atha yang masih sibuk melihat hasil rekaman di kamera sekolah.

"Bagus, Nay. Akting kalian total banget," tukas Atha dengan senyum semringah.

Detik berikutnya Naifa malah tertawa terbahak-bahak setelah sekilas sempat ikut melihat kamera.

"Masih waras kan, Fa?" Atha menautkan kedua alisnya heran.

"Liat deh si kutu kupret. Astaga ! Nggak cocok banget akting serius, mukanya keliatan kaya nahan boker," Naifa terbahak lagi.

Zayan menjitak kepala Naifa keras-keras, kemudian mengambil alih kamera dari tangan Atha.
"Apaan orang ganteng gini kok, lebih keliatan sisi cool gue, " bela Zayan.

"Ganteng dari Hongkong," cibir Naifa.

"Tau aja lo gue ada garis keturunan Hongkong."

Aku dan Atha hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka. Mereka memang selalu tak sependapat, bagai kucing dan anjing tiap harinya. Aku jadi berpikir jangan-jangan sebenarnya mereka saling suka tapi menutupinya dengan pura-pura saling membenci. Huh, model klasik !

"Nanti lanjut scene 6 ya," ujar Atha seraya merapikan peralatan shooting kami.

Aku menghela napas lelah. Karena Naifa dan Atha mendoktrin aku dan Zayan tidak ikut menyalurkan ide, sebenarnya tak sepenuhnya sih, aku ikut membumbui ide mereka dengan genre islami. Tapi tetap saja mereka memaksa aku dan Zayan menjadi aktor dan aktris dadakan sebagai pemeran utama di proyek akhir kami.

Sebenarnya aku lebih suka jadi penulis skenario daripada jadi pemeranya. Salah mereka sendiri yang tak memberiku ruang untuk menyalurkan pendapat lebih. Sungguh, aku tak percaya diri untuk berakting di depan kamera.

"Gue makan dulu kali, Tha. Lo pikir akting ngga cape apa. Lo enak cuma modal mulut teriak-teriak doang." Sungut Zayan.

"Kuping lo perlu gue korek pake garpu apa gimana. Gue kan bilangnya nanti. N-A-N-T-I," ucap Atha penuh penekanan yang tak diindahkan Zayan. Ia hanya mengangkat tanganya tak peduli seraya tetap berjalan ke kantin.

Aku dan Naifa membantu Atha membereskan peralatan dan menaruhnya di bengkel jurusan.

"Ngantin yuk, Nay. Laper nih," ajak Naifa.

"Kantin depan apa belakang?"

"Belakang aja. Sekalian gue mau liat anak-anak otomotif lagi praktik." Naifa tertawa menyeringai.

Senja Terakhir Bersamamu (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang