Aku Mencintaimu

1.7K 82 13
                                    

"Jangan pernah meremehkan 3 hal: Marahnya orang yang sabar, murkanya orang yang suka bergurau, dan kecewanya orang yang setia."

~Quotes~

🍁🍁🍁🍁🍁

Aku baru saja mendaratkan kaki di batas suci mushola saat aku mendapati Tiko terlihat melamun di teras.

Pandanganya menerawang ke depan dengan tatapan kosong. Aku khawatir penghuni pohon beringin yang berjarak 6 meter di hadapanya tergoda. Naudzubillah ...

"Oy. Pagi-pagi udah manyun, lihat tuh matahari sendirian aja tetap bersinar." Aku mengeluarkan kelakar sembari melempar tisu bekas padanya.

Tiko hanya menoleh sebentar dengan tatapan datar. Lalu berdecak pelan.

"Mikirin apa sih?" tanyaku heran.

"Nggak," jawabnya singkat.

Aku memanyunkan bibir dan berdecak sinis. Dasar irit ngomong.

Jam masih menunjukkan pukul setengah 7 tepat. Dan Tiko masih juga dalam posisinya. Kembali melamun. Aku jadi sedikit khawatir padanya. Karena baru kali ini aku mendapatinya seperti sedang sangat memikirkan sesuatu.

Aku menyunggingkan senyum miring. Enak kali ya kalau sekali-sekali menjahili Tiko. Meski mungkin reaksinya akan datar-datar saja seperti biasanya.

"Eh, Azrina."

"Mana?" Tiko refleks berdiri dan celingukan kesana kemari dengan polos. Aku bahkan masih mengerjapkan mata, terkejut dengan aksinya yang tidak diduga.

Detik selanjutnya dia menatapku tajam. Mata hitam pekat elangnya seakan menghunus sampai ke ulu hati. Wajahnya memerah, entah marah atau malu.

"Nggak lucu!" Katanya dingin.

Sebenarnya aku agak takut. Kata orang jangan pernah meremehkan marahnya orang sabar. Dan baru kali ini aku melihat Tiko berbicara dengan intonasi yang lumayan ngegas begitu.

"Jangan marah dong. Aku kan cuma bercanda. Lagian cerita dong kamu ada masalah apa? Kamu lupa kalo kamu juga udah kaya tong sampah yang selalu jadi tempat aku numpahin unek-unek?"

Tiko mengembuskan napas berat dan kembali terduduk. Wajahnya berangsur-angsur kembali datar.
"Sepertinya gue udah setres kaya lo," akunya.

Aku mengernyitkan dahi."Maksud kamu?"

"Ngga jadi." Tiko melangkah menuju tempat wudhu. Meninggalkan aku dengan segala kegondokan yang tak bisa kutahan. Untung Tiko baik, untung saudara meski jauh. Kalau tidak, mungkin aku sudah khilaf melemparkan sepatu padanya.

Aku juga beranjak dan bergegas mengambil wudhu. Berharap bisa menyejukkan hatiku yang baru saja terbakar kekesalan. Mengapa ada orang sedingin es batu begitu?

Setelah melaksanakan empat rakaat shalat dhuha aku keluar mushola dan cepat-cepat memasang sepatu. Ada rapat dadakan yang harus aku laksanakan guna melancarkan acara sidang kerja proyek nanti sore.

Setelah melewati drama-drama yang menguras tenaga, waktu, biaya dan emosi akhirnya sampai juga pada waktunya. Titik puncak perjuangan akhir di proyek kelompokku.

Di koridor perpustakaan aku berpapasan dengan Fauzi dan Terang yang berjalan beriringan. Mereka terlihat sedang mengobrol santai. Mungkin karena sering bertemu di mushola jadi mereka memutuskan untuk berteman.

"Udah, Nay?" tanya Fauzi.

Aku mengangguk. Maksud dari pertanyaanya adalah apa aku sudah shalat dhuha atau belum. Hanya itu yang selalu Fauzi tanyakan tiap bertemu aku di pagi hari.

Senja Terakhir Bersamamu (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang