Ombak mahligai

206 22 2
                                    

"Kadang yang paling mencintai adalah yang paling rela pergi, mengantarkan bahagia untukmu, lalu mengemas lukanya seorang diri."

🍂🍂🍂🍂

Jalanan Ibu kota tak pernah sepi oleh kendaraan, bahkan terasa semakin padat sejak kali terakhir aku tinggalkan. Aku melajukan motorku perlahan sembari mengulang kenangan. Menatap tempat-tempat yang pernah menjadi saksi perjalananku di sini.

Mas Zayan sudah kembali pada aktivitas rutinnya. Hari ini dia ada kelas hingga sore. Karena tak ada kegiatan lain setelah mengurus rumah dan bisnis kecilku, aku membuat janji untuk bertemu dengan Sarah selepas salat duhur. Sudah lama sekali rasanya, pada hari pernikahanku pun Sarah tak bisa hadir karena dia masih memiliki bayi kecil, aku melarangnya memaksakan diri meskipun ia ingin hadir, bayi menggemaskan itu masih terlalu kecil untuk diajak menempuh perjalan jauh.

Sesampainya di kafe tempat biasa kami bertemu aku langsung menempatkan diri di kursi paling pojok dekat jendela. Tempat favorit kami dahulu. Mataku masih betah mengamati tiap sudut ruang yang tampak sudah menjadi lebih baik dengan berbagai tambahan properti yang estetik sekarang.

Aku menoleh saat mendengar pintu terbuka. Mataku langsung berbinar menatap perempuan bercadar menggandeng satu anak berusia dua tahun juga satu bayi dalam gendongannya. Seketika aku beranjak dan menyambutnya.

"Asalamu'alaikum, Sarah..."

"Waalaikumusslam Warahmatullah, Ainayya.." jawabnya sambil tersenyum.

Seketika aku langsung menghambur memeluknya dengan hati-hati, karena ada Farhan di antara kami dalam gendongan Sarah.

"Gimana kabarnya? Kamu sehat?" tanyanya pertama kali.

Aku mengangguk bersemangat. "Alhamdulillah.. kamu sendiri gimana, Rah? Kangeen bangeet," kataku bersemangat yang dijawab Sarah dengan kekehan.

"MasyaAllah Adnan makin ganteng sekali kamu, Nak," ucapku seraya berjongkok di hadapan bocah kecil ganteng itu.

Anak pertama Sarah. Anak manis itu tersenyum malu-malu, memperlihatkan kedua lesung pipinya. Sontak saja aku langsung mencubit gemas pipinya.

"Ayok Rah, kita duduk," ajakku seraya menuntun Adnan.

Dua tahun tidak bertemu membuat perubahan banyak pada diri Sarah, lihatlah kini dia tampak semakin anggun, tertutup, dan shalihah.

"Apa kegiatan kamu sekarang, Nay?"

"Hmmm, ya cuma gini-gini aja sih, Rah. Ngurus suami sama ngurus rumah, handle usaha juga nggak terlalu repot. Sepertinya aku butuh kegiatan tambahan."

"Relawan yang dulu udah off?"

Aku mengangguk. "Semenjak pulang kampung aku tinggalkan semuanya," jawabku.

"Kamu sendiri gimana?"

Sambil menyuapi Adnan Sarah menoleh sejenak, matanya tampak bergaris menandakan ia sedang tersenyum.

"Alhamdulillah, aku juga sama sepertimu. Tapi kadang-kadang suami masih suka ngajak kegiatan sosial juga kalau lagi libur, namun setelah Farhan lahir aku lebih sering di rumah saja," ungkapnya.

Kami bercerita panjang sembari memakan makanan kesukaan kami. Sarah juga memberiku banyak informasi tentang berbagai kegiatan manfaat yang mungkin nanti bisa aku ikuti dengan izin Mas Zayan.

"Aku harus pulang, Nay," kata Sarah setelah sesaat mengecek ponselnya.

"Kamu pulang sama siapa?" tanyaku memastikan.

"Suamiku sedang dalam perjalanan ke sini, dia baru menjenguk mantan mahasiswanya yang sedang sakit."

Tiba-tiba mata sarah menerawang dan seperti memandang kosong ke arah jendela. Ia menghembuskan napasnya dengan berat.

Senja Terakhir Bersamamu (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang