"Entah berapapun kali kau akan melukaiku,aku takkan sanggup jika melihatmu yang terluka"
🍁🍁🍁🍁
Aku berjalan dengan santai dari jalan raya ke arah gerbang sekolah. Sekolahku memang terletak sekitar 100 meter dari jalan raya.
Aku terbiasa menggunakan kendaraan umum saat berangkat dan pulang sekolah. Kalau Mas Abyan, kakakku yang kuliah di Jakarta sedang pulang ke rumah, biasanya dia yang akan mengantar dan menjemput aku sekolah. Sesekali aku juga nebeng sama si Tiko, saudara jauh yang ketemu gede.
Maksudnya, dulu waktu SMP aku satu sekolah sama Tiko. Tapi tidak pernah bertegur sapa. Kenal saja tidak, aku hanya tau namanya saja. Tapi kenyataan mengejutkan saat dia berkunjung ke rumah nenekku menjelang pendaftaran masuk SMK. Nenekku bilang, dari jalur nenekku sama neneknya Tiko kita masih bersaudara, mungkin istilahnya saudara jauh. Entahlah aku tak paham, itu persepsi menurut orang Jawa katanya.
Selain si Tiko, biasanya aku juga maksa minta dianterin sama si Zayan. Dia, sih, sering mencak-mencak dulu kalo aku minta dianter, tapi dengan jurus wajah memelas dia selalu luluh juga hahaha.
Waktu masih kelas sepuluh, aku biasa pulang bersama Terang. Tapi sekarang, jangankan pulang bareng, bertemu aku saja dia sering berpaling. Aku heran mengapa jadi dia yang terlihat membenciku. Bukanya seharusnya aku yang membencinya?
Aku memasuki lab komputer dua sesuai dengan jadwal pelajaran pertama. Aku memang siswi kelas dua belas jurusan multimedia. Jadi, lab sudah seperti rumah ketiga buatku. Yang kedua, tentu saja perpustakaan.
Lab sudah dipenuhi oleh rakyat kelas XII Multimedia 3. Aku berjalan santai menuju mejaku. Kulihat sahabatku Naifa sedang bermain catur dengan si Zayan yang nangkring di tempat dudukku. Tumben sekali mereka akrab.
Naifa sahabatku yang paling pengertian. Dia sudah seperti tong sampah untukku, tempatku menumpahkan unek-unek tentang masalah apapun itu termasuk tentang Terang. Dia juga yang selalu jadi tameng saat aku tersakiti, memotivasi kala aku terpuruk. Satu hal yang bikin aku gemes sama dia yaitu saat lemotnya yang sudah akut itu kambuh. Juga saat dia sudah bersama si kutu kupret Zayan dia pasti jadi ikutan aneh.
"Ehmmm ..." Aku berdehem seraya melirik Zayan, berharap dia peka dan segera menyingkir dari kursiku. Namun sepertinya dehemanku tak memberikan efek apapun padanya. Ia tetap fokus pada kotak hitam putih di hadapanya.
"Ehmm ... ehmm" aku kembali berdehem dengan nada yang lebih keras, namun lagi-lagi usahaku tak membuahkan hasil. Kulirik Naifa yang juga tak terusik dengan keberadaanku, masih fokus dengan apa yang sedang dia mainkan. Aku benar-benar merasa jengkel dikacangin.
Kerena gemas sendiri dengan dua manusia ini, dengan sengaja kutarik papan catur yang sedang menjadi pusat perhatian mereka hingga membuat pion-pion yang ada di atasnya berceceran. Seketika mereka mendongak melihatku.
"Ehh, ada orang ya? " Zayan berkata dengan polosnya.Aku mendelik kearahnya dan berekspresi marah.
"Minggir, aku mau duduk. Balik sono ke alam lu sendiri" usirku padanya."Bentaran ah,nanggung nih. Balikin sini!"
Aku menyembunyikan papan catur di belakang ranselku.
"Minggir, ah. Aku mau ngerjain PR matematika, buat jam kedua nanti kan? Kalo ngga mau minggir mending kamu ajarin aku dari pada main. Kan lebih berfaedah, dapat pahala, Insyaallah masuk surga aamiin." Cerocosku.
"Lo sarapan apa sih tadi? "
"Kenapa?" Aku mengangkat alis bingung.
"Pasti belum sarapan ya? Pantes aja, tong kosong berbunyi nyaring. Perut lo kosong nyaring deh mulut lo ngoceh," ledek Zayan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Terakhir Bersamamu (Complete)
SpiritualNaya, gadis tujuh belas tahun itu mengalami goncangan batin yang cukup hebat saat orang yang dicintainya meninggalkanya secara sepihak. Harinya selalu dipenuhi dengan bayang masa lalu. Meski sekuat tenaga ia berlari menjauh kenangan itu seolah mengi...