"Atas dasar apa kamu berhak melukai adikku lagi?" tanya Mas Abyan, matanya memicing tajam pada Terang yang duduk di seberangnya.
Aku hanya menunduk pasrah, justru Kak Haura lah yang sedari tadi menangis di sampingku. Kak Haura menggenggam tanganku erat.
"Aku dapat beasiswa ke luar negeri Mas, dan syaratnya tidak boleh menikah dulu," kata Terang.
Mas Abyan menggebrak meja di hadapan kami, dia kehilangan kendalinya. Sontak saja Mas Abyan berdiri ingin menghajar Terang. Tapi aku berhasil menahannya dan membuatnya duduk kembali. Aku menggelengkan kepala tanda tak setuju dengan apa yang ingin dia lakukan.
"Ingat Allah, Mas. Istighfar," kataku mengingatkannya.
Mas Abyan menghembuskan napasnya dengan kasar. Ia kembali menatap Terang dengan pandangan lebih lunak dari sebelumnya.
"Apa menurutmu beasiswa itu lebih penting dari pada harga dirimu? Kau mendzalimi adikku! Kau punya hati tidak?" cerca Mas Abyan lagi.
Aku pun sebenarnya tak menyangka dengan alasan Terang. Tega sekali dia mengorbankan perasaanku demi beasiswanya. Apa sedari dulu hati dan perasaanku memang tak pernah ada harganya di matanya. Terang, aku terluka. Takkah kau mendengar suara retak dari hatiku?
"Aku minta maaf, Mas," ucap Terang.
"Kata maafmu itu tidak bisa menyembuhkan luka besar yang telah kau buat di hati Naya. Aku sangat kecewa padamu Terang. Dari dulu aku tak suka padamu, aku tak suka kamu mendekati Naya. Tapi setelah kamu berubah, kamu hijrah. Aku melihat akhlakmu, aku melihat ketulusanmu, aku melihat ilmu agamamu. Sekarang kau kemanakan semua itu Terang?""
Terang menunduk sangat dalam, air bening tercipta di pelupuk matanya. Sekali saja Terang berkedip detik selanjutnya air itu pasti terjatuh. Dia melukaiku, tapi aku merasakan bahwa sebenarnya Terang juga terluka.
Percakapan perempuan teduh di masjid tadi siang hadir begitu saja. Bagaimana ia begitu mudah memaafkan tanpa peduli alasan dari kesalahan itu. Haruskah aku juga melakukannya saat ini.
"Orang tuamu tahu?" tuding Mas Abyan lagi.
Terang mengangguk.
Aku melihat Mas Abyan mengepalkan tangannya lagi. Tapi aku terus memberinya tatapan memohon agar jangan sampai Mas Abyan kehilangan kontrol diri.
Bunda tahu? Kenapa Bunda tidak melarang Terang. Tiba-tiba rasa kecewa kembali menyelusup ke dalam hatiku. Kupikir Bunda sangat sayang padaku, Bunda tidak akan mungkin membiarkan anaknya menyakitiku. Rasanya setelah ini aku benar-benar tidak ingin percaya kepada manusia manapun meskipun ia menjelma sebagai sosok malaikat dengan segala kebaikannya di hadapanku. Aku kecewa Ya Allah.
"Ada yang ingin kau katakan Naya?" tanya Mas Abyan memandangku. Matanya juga menyiratkan kesedihan yang dalam.
Aku menunduk sebentar, lalu kutatap Terang yang masih betah menyembunyikan wajah sedari tadi.
"Terang," panggilku.
Pria itu mendongak. Matanya begitu merah. Wajahnya tampak sangat lelah.
"Tidak apa-apa, InsyaAllah aku mengerti. Kejarlah cita-citamu. Jangan pikirkan perasaanku. Aku punya Allah yang selalu menguatkanku." Aku tersenyum saat mengatakan itu. Berusaha memberi Terang tanda bahwa apapun keputusannya ia tidak mungkin tidak memikirkanya dengan matang terlebih dahulu. Ya meskipun itu harus membuatku kembali menggarami luka yang dulu pernah ada.
Perkataanku membuatnya tak segan lagi meneteskan air mata. Sudah berapa kali kudapati Terang menangis seperti ini di hadapanku. Kata orang, air mata laki-laki adalah kejujuran yang tak bisa mereka tunjukkan sembarangan di hadapan orang lain. Kecuali orang-orang yang dia sayangi atau dia percayai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Terakhir Bersamamu (Complete)
SpiritualNaya, gadis tujuh belas tahun itu mengalami goncangan batin yang cukup hebat saat orang yang dicintainya meninggalkanya secara sepihak. Harinya selalu dipenuhi dengan bayang masa lalu. Meski sekuat tenaga ia berlari menjauh kenangan itu seolah mengi...