Senyum yang lama hilang

994 63 3
                                    

"Jadilah seperti bunga yang memberikan keharuman, bahkan pada tangan yang menghancurkanya."

(Ali bin Abi Thalib )

Hijrah tak akan berjalan dengan baik jika hanya diniati saja tanpa melakukan tindakan apapun. Karena hijrah sejatinya adalah berpindah pada keadaan yang lebih baik menurut Allah subhanahuwata'ala. Berusaha meninggalkan hal-hal kurang terpuji atau tidak bermanfaat yang biasa di lakukan.

Aku mengemudikan motor matic di jalan raya yang masih lengang. Mulai hari ini aku membawa motor sendiri, Mas Abyan tidak ingin aku berboncengan lagi dengan laki-laki yang bukan mahramku. Itu sebabnya, ia rela menggunakan uang tabunganya demi membelikan aku motor ini.

Aku sudah berkali-kali menolaknya, biar bagaimanapun Mas Abyan pasti suatu saat membutuhkan uang itu. Uang hasil kerja paruh waktunya di sela kegiatan kuliahnya.

"Nay, uang bisa dicari lagi. Tapi hidayah yang menghampirimu kini harus kita rengkuh seerat mungkin. Allah sudah mengabulkan do'a Mas. Mas hanya ingin mendukung hijrahmu."

Terharu, aku sungguh bangga mempunyai kakak seperti Mas Abyan.

"Tapi, Mas. Aku kan bisa naik angkot. Nanti dari Masjid Baiturrahman biar dijemput Ayah." Aku masih mencoba membujuknya.

"Apa kamu tidak kasihan pada Ayah? Beliau bekerja dan pulang sore Nay, masa kamu tega membiarkanya kelelahan karena langsung menjemputmu."

Aku terdiam, Mas Abyan benar. Ayah sudah bekerja keras setiap hari, bahkan aku tahu dia sering menahan sakit di dadanya. Karena tiap pagi buta, ia harus mengantarku ke jalan raya. Lalu setelahnya berangkat kerja. Udara pagi pasti kurang baik untuk seusia Ayah.

Tapi tidak ada pilihan lain, aku hanya bisa bareng Tiko saat pulang sekolah. Karena berangkatnya Tiko membonceng saudaranya yang lain. Dulu saat masih bersama Terang aku sesekali berangkat bersamanya, tapi untuk sekarang tidak perlu di pertanyakan lagi bagaimana.

Akhirnya aku pasrah saja saat Mas Abyan kekeh membelikanku motor. Usiaku juga sudah 17 tahun, Ayah sudah mengizinkan aku membawa motor sendiri dengan jarak tempuh yang jauh.

Aku memarkirkan motor di parkiran khusus kelas 12, letaknya di belakang bengkel jurusan teknik otomotif. Baru saja aku melepas helm-ku, ekor mataku melirik motor di sampingku.
Bukan motornya yang menarik perhatianku, tapi kunci motor yang masih menggantung dengan cantik di tempatnya itu yang menyedot perhatianku.

Masih saja ada murid yang lupa meninggalkan kunci di motornya. Padahal, guru BK sudah mengingatkan berulangkali selepas upacara untuk berhati-hati, meski ini di lingkungan sekolah sendiri tapi banyak orang luar yang keluar masuk sekolah ini. Bukan bermaksud su'udzon, tapi berhati-hati lebih baik dari pada terjadi sesuatu yang tak diinginkan.

Aku segera menyambar kunci itu dan beranjak menuju ruang piket untuk menyerahkannya. Namun, dari arah yang berlawanan denganku aku melihat Terang berjalan terburu-buru. Reaksi tubuhku masih sama seperti sebelum-sebelumnya saat berhadapan dengannya. Degup jantungku pun masih terasa sakit, mengapa ikhlas rasanya sulit sekali.

Aku memberanikan diri untuk menyapanya, aku sudah memutuskan. Aku tidak mau lagi jadi pengecut, jika aku tidak bisa lari dari masa laluku aku akan belajar menerimanya menjadi bagian dari perjalanan hidupku di hari lalu. Biar saja jika Terang masih ingin bersikap cuek padaku seperti yang biasa dia lakukan, yang penting aku sudah mencoba tidak melakukan hal yang sama padanya.

Seperti kata-kata yang ku baca di buku catatan Mas Abyan. Aku ingin menjadi bunga yang memberikan keharuman, bahkan pada tangan yang telah menghancurkan.

"Hai, Terang," sapaku. Tanpa ada nada malu, gemetar, atau nada yang terdengar aneh lainya seperti dulu.

Seakan baru menyadari kehadiranku, Terang terlihat terkejut. Ia menghentikan langkahnya. "Eh, hai Naya," balasnya kikuk.

Senja Terakhir Bersamamu (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang