"Ada yang pasti akan datang meski tidak kita inginkan. Dan yang bisa kita lakukan untuk menyambutnya hanyalah mempersiapkan. Karena ia adalah pemutus kelezatan bernama kematian."
🍂🍂🍂🍂🍂
Berbohong itu sifat yang buruk meski bohong kecil. Karena sekecil apapun itu sudah seperti menjadi hukum alam jika satu kebohongan kecil akan memancing kebohongan yang lain juga untuk muncul.
Sedari tadi aku memperhatian Fauzi yang sesekali sedikit menggerutu tapi beberapa detik kemudian mengucap istighfar berkali-kali.
Dia menyesal telah berbohong pada gadis bernama Fiza di kantin tadi untuk menghindarinya. Tapi dia bilang tidak bisa memikirkan cara lain selain itu. Sepertinya berbohong menjadi masalah yang sangat besar untuk Fauzi. Semenjak keluar kantin wajahnya gelisah luar biasa.
"Kamu mau nggak bikin janji sama aku biar aku ngga jadi bohong," katanya polos sekali saat tadi kami melangkah menuju parkiran.
Aku mengernyit bingung. "Maksudnya?"
"Tadi aku bilang sama Fiza harus pergi karena ada janji sama kamu. Padahal tidak. Kamu mau bantu aku biar semua itu tidak dinilai kebohongan oleh Allah?" katanya lagi.
Subhanallah, Fauzi ini manusia dari belahan bumi mana sebenarnya. Apa itu tidak berlebihan. Atau aku saja yang tidak paham.
"Gimana aku bantunya?" Tanyaku.
Fauzi berhenti sejenak yang membuatku otomatis ikut berhenti juga. Bola matanya berputar ke atas seolah sedang berpikir.
Dan jadilah aku terdampar di sini. Duduk dengan canggung di ruang tamu rumah Fauzi sendirian. Anak itu masuk dan sedari tadi belum keluar. Jam dinding baru menunjukkan pukul 11.00 tepat, hari ini aku dan Fauzi kebetulan memang hanya punya jadwal ujian satu mata pelajaran di sesi satu. Dan sesi satu berakhir jam setengah sepuluh.
Seorang wanita paruh baya yang anggun menyibak gorden cantik dan menampakkan wajah teduhnya yang tersenyum ramah. Ia berjalan menghampiriku.
Segera aku bangkit menyalaminya dan mengembangkan senyum yang sama.
"Ainayya, Nek." Kataku memperkenalkan diri.
Masih dengan tersenyum nenek Fauzi berucap." Aminah, nama nenek Aminah."
Aku tersenyum. Teringat nama Ibunda Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam.
"Nenek sudah tahu ceritanya dari Fauzi," katanya lalu terkekeh." Maafkan cucu nenek ya jadi merepotkanmu, sedari kecil dia memang seperti itu."
Aku mengangguk maklum. Yang kutangkap dari perkataan neneknya adalah sedari kecil dia memang sudah aneh seperti itu.
"Pernah dulu saat usianya baru tujuh tahun. Mamanya menyuruhnya salat isya. Dia sedang sibuk dengan mainannya dan menjawab sudah salat. Mamanya hanya mengatakan jika Allah maha melihat. Maka seketika Fauzi bangkit dan melaksanakan salat padahal dia bilangnya sudah salat." Ceritanya.
"Habis itu dia menangis lama dan meminta maaf tiada henti pada mamanya," lanjutnya dengan tawa, namun ada sorot kebanggan di pancaran mata nenek Aminah.
Hatiku mencelos. Salah besar sudah berprasangka buruk pada Fauzi. Bukan dia yang aneh, bukan dia yang berlebihan. Aku saja yang tidak paham, aku saja yang kurang dekat dengan agama. Dari cerita neneknya saja aku sudah mengerti kalau Fauzi telah terdidik dengan akhlak yang sangat baik bahkan dari hal-hal terkecil.
Fauzi keluar membawa nampan dan terlihat sudah berganti pakaian. Dia meletakkan cangkir dan sepiring kue di meja hadapanku.
"Nak, silakan diminum tehnya. Itu kuenya juga dimakan. Nenek bikin sendiri loh," ucap nenek Aminah.
Aku tersenyum," MasyaAllah, jangan repot-repot Nek, Naya jadi tidak enak." Ujarku sungkan.
Beberapa saat kemudian nenek dan Fauzi mengajakku ke perpustakaan pribadi milik mereka. Demi Allah aku ingin berteriak kencang. Melampiaskan euforia bahagia yang tidak terkira. Mataku berbinar-binar menatap dua rak besar yang penuh dengan buku. Bahkan dadaku berdebar-debar melebihi debaran saat di hadapan Terang dulu.
Di tengah-tengah rak ada sofa panjang berwarna abu muda. Nenek Aminah mengambil beberapa buku lalu membawanya duduk di sofa. Ia memanggilku dan menyuruhku duduk di sampingnya.
"Kamu suka baca buku?" tanyanya.
Aku mengangguk antusias dan membuatnya menyunggingkan senyum. Ah, tidak. Bukan aku penyebabnya. Sedari tadi memang nenek selalu tersenyum ramah. Bahkan ia tetap nampak seperti sedang tersenyum saat tidak tersenyum.
"Ini buku-buku perempuan-perempuan hebat di zaman Rasulullah, mamanya Fauzi dulu saat awal hijrah banyak sekali mengoleksi buku-buku sirah," kata nenek.
Aku sedikit terkejut mendengar penuturan nenek. Dipikiranku keluarga Fauzi memang sudah religius dari lahir. Ternyata mamanya Fauzi punya cerita hijrah juga. Pasti sangat menarik. Aku ingin bertanya tapi rasa maluku lebih dominan hingga aku memutuskan tetap diam.
Hingga setelah salat duhur aku berpamitan untuk pulang. Fauzi yang baru kembali dari masjid menawarkan diri untuk mengantar hingga jalan raya. Tapi aku menolak karena masih ingat jalannya. Rumah Fauzi tidak terlalu jauh dari jalan raya. Aku sangat bersyukur bisa dipertemukan dengan Fauzi dan neneknya. Baru beberapa jam bersama saja aku sudah mendapatkan banyak pelajaran berharga. Bahkan aku mendapat buku-buku bertema Islam yang langsung membuatku terharu. Baik sekali mereka. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan.
Aku menepikan motor ke sisi kiri saat tak sengaja melihatnya. Tiga orang yang masih berseragam putih abu-abu itu terlihat tengah terlibat dalam suatu konflik. Aku benci sebenarnya mengakui ini. Tapi entah mengapa aku tidak bisa berhenti peduli. Meski jujur saja aku sudah sangat rela melepaskan Terang saat ini. Semoga semua rasa peduli itu hanya naluri pada seorang teman yang aku juga akan merasakannya meskipun yang berdiri di sana bukan Terang.
Terang dan satu laki-laki yang tak aku tahu namanya nampak sedang beradu mulut. Dan ada seorang perempuan berdiri di antara mereka sambil menangis. Aku tak bisa mendengar yang mereka bicarakan meski jalan raya masih cukup lengang dari kendaraan yang lewat. Sampai pada saat pria itu melayangkan pukulan ke wajah Terang refleks aku berteriak memanggil nama Terang.
Terang dengar dan menoleh, namun ia kembali fokus pada pria di depannya saat bogem mentah itu lagi-lagi mendarat di wajahnya. Tanpa pikir panjang aku segera menanggalkan helm dan sedikit berlari untuk menyebrang jalan. Namun aku dikejutkan dengan suara klakson yang berbunyi panjang. Langkahku terhenti dan pandanganku beralih menatap ke sisi kanan. Sebuah bus besar sedang melaju ke arahku dengan kecepatan tinggi. Tinggal beberapa detik saja pasti kuda besi itu akan mengenai tubuhku.
Suara orang-orang yang berteriak terasa lenyap dari pendengaranku. Aku hanya mampu mendengar suara detak jantungku sendiri yang berdentum hebat. Detik selanjutnya aku memejamkan mata seraya mengepalkan tangan kuat-kuat. Ya Allah, aku pasrah.
Jangan lupa baca Al-Qur'an 😊
Jangan lupa bintang dan ketikan jarinya juga teman-teman 😁
Senja Terakhir Bersamamu
_Kebumen, 04 Agustus 2020_
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Terakhir Bersamamu (Complete)
SpiritualNaya, gadis tujuh belas tahun itu mengalami goncangan batin yang cukup hebat saat orang yang dicintainya meninggalkanya secara sepihak. Harinya selalu dipenuhi dengan bayang masa lalu. Meski sekuat tenaga ia berlari menjauh kenangan itu seolah mengi...