"Secara baik-baik maupun terpaksa, perpisahan akan selalu menyakitkan."🍁🍁🍁🍁
Aku berjalan di atas lembutnya pasir pantai yang menyisakan jejak telapak sepatu. Kemudian datang ombak menghempasnya dan membuatnya terhapus, tiada, terlupakan.
Seperti halnya kisah lama, yang seiring berlalu bisa tersapu waktu, tertelan kenangan baru, dan pada akhirnya tetap terlupakan.
Aku tersenyum getir seraya terduduk di atas pasir, angin pantai membuat jilbabku berkibar. Aku harus susah payah memeganginya karena jika sampai rambutku terlihat sehelai saja pria yang sedang sibuk dengan kameranya itu pasti akan menceramahi dan mengomeliku habis-habisan.
"Rambut itu aurat. Meski hanya sehelai jika ada yang bukan mahram kamu melihatnya itu dosa. Kamu emang mau bikin Ayah,Mas, sama Faiz masuk neraka karena kamu ngga bisa jaga aurat kamu. Suami kamu juga nanti rugi kalo aurat kamu udah diliat orang lain lebih dulu sebelum dia."
Begitulah Masku yang paling ganteng itu, aku tahu dia sayang padaku, dia tak akan hanya memperhatikan keselamatan duniaku tapi juga akhiratku.
"Dek," teriaknya dari bibir pantai, kamera mahal itu ia arahkan padaku. Satu matanya menyipit berusaha mencari fokus terbaik untuk membidik objeknya, aku tersenyum lebar, berpose ala kadarnya.
"Cantik," ia melangkah mendekatiku kemudian ikut duduk di sampingku.
"Udah dari lahir kali," jawabku bangga.
Mas Abyan menoel pipiku gemas. Sore ini aku dan Mas Abyan sedang berada di pantai. Dia baru saja datang dari Jakarta pagi tadi, tapi dia tidak mau terus berdiam diri dirumah karena masa cuti kuliahnya tidak lama.
Dia menjemputku di sekolah kemudian langsung menculikku pergi ke pantai, dia sengaja membawakanku baju ganti dari rumah , memang benar-benar penculikkan berencana.
Aku sempat tidak mau memakai baju yang dibawakan Mas Abyan, karena dia menyodoriku gamis berwarna pink yang kukenakan saat lebaran kemarin. Padahal hampir seisi lemariku berisi celana jeans dan kaos panjang, pakaian yang ku kenakan kemana-mana.
Entah bagaimana caranya Mas Abyan menemukan gamis itu padahal sudah ku museumkan dalam box besar yang berisi pakaian-pakaian yang sudah tak pernah kukenakan lagi. Tapi akhirnya kumengalah saja dari pada berdebat denganya di depan toilet umum dan jadi tontonan banyak orang.
Aku beranjak dan berlari kecil menyeret langkah ke bebatuan di sebelah barat pantai.
Tanpa Mas Abyan tahu, pantai ini adalah tempat dimana aku sering menghabiskan waktu menanti senja dengan Terang, selain di taman Baiturrahman.
Aku melangkah perlahan di bebatuan rata ini, pandanganku menjurus pada batu besar tepat di bibir pantai itu. Dulu, aku sering duduk di sana bersamanya. Dia akan memainkan gitarnya dan aku duduk di sampingnya, berteman semilir angin pantai dan tawa renyahnya. Menanti keindahan senja, seindah perasaan kami.Sederhana namun begitu membahagiakanku. Aku seperti merasakan Dejavu, menatap delusi yang muncul di hadapanku.
Hembusan angin pantai sore ini menarikku ke dalam ranah nostalgia. Menyusup labirin hati secara perlahan namun berhasil meniupkan badai kegundahan.
Aku menyapu pandangan ke pasir itu, di sana ia pernah menggoreskan nama kami berdua, ukiran sederhana namun begitu bermakna "Terang Love Ainayya." Goresan itu Terang abadikan dengan kamera ponselnya, bahkan hingga kini juga masih ada dalam galeri ponselku.
Namun kini ombak telah menghapusnya, mungkin di tempat yang sama pula orang lain telah menuliskan nama mereka. Ombak waktu pun telah menghempaskan kisahku, dan mungkin juga di hati yang sama, hatinya, orang lain telah menggantikan posisiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Terakhir Bersamamu (Complete)
SpiritualNaya, gadis tujuh belas tahun itu mengalami goncangan batin yang cukup hebat saat orang yang dicintainya meninggalkanya secara sepihak. Harinya selalu dipenuhi dengan bayang masa lalu. Meski sekuat tenaga ia berlari menjauh kenangan itu seolah mengi...