Cairo, Mesir.
"Assalamu'alaikum,"
Pria berwajah khas Asia itu memutar knop pintu asramanya. Tangan kirinya menenteng belanjaan yang baru ia beli di pasar selepas kajian tadi. Sudah menjadi rutinitasnya hampir empat tahun menjadi mahasiswa rantau, membuat menu makanan sendiri.
Seseorang di dalam asrama menjawab salam dan menyambutnya dengan wajah pias. Ia letakkan kaca mata bulatnya dan buku tebal yang baru setengah dibacanya ke meja belajar.
"Kamu kenapa?"
Mendapati wajah kembarannya yang sulit ditebak membuat Zayan mengernyitkan kedua alisnya. Pasalnya kembarannya itu menampakkan wajah muram di hadapannya.
"Ada kabar dari Indonesia," katanya.
Zayan menyambar air minum yang tergeletak di meja dan meminumnya hingga tandas. Ia memposisikan diri duduk di samping Rayan. Sepertinya beritanya penting sampai wajahnya begitu serius.
"Kabar apa? Berita duka ya? Muka kamu semrawut banget," ucapnya ngawur sembari tergelak.
Zayan mencoba menciptakan suasana santai. Empat tahun berbaur dengan orang-orang yang biasa menggunakan lisan untuk mengucapkan kata-kata sopan dan lebih dominan baku membuat banyak pengaruh pada Zayan. Bahkan ia telah meninggalkan sapaan lo-gue khas dirinya di masa lalu. Meski sebenarnya itu bukan sebuah masalah bagi beberapa orang. Tapi lingkungan Zayan sekarang berpengaruh besar pada perubahan dirinya.
"Ainayya, Yan.."
Mendengar nama itu disebut tawa Zayan mereda. Firasatnya mengatakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan saat berita itu sampai ke telingannya.
"Kenapa dia?"
Rayan memandangnya dengan tatapan iba. Sedetik kemudian ia menepuk bahu saudara kembarnya dua kali. Mencoba memberi isyarat bahwa Zayan harus kuat mendengar apa yang akan dia sampaikan.
"Papa ngasih kabar, Naya mau menikah. Kemarin dia ngasih undangan ke Papa."
Rayan menyodorkan ponselnya. Zayan menerimanya dengan hati yang sedikit bergetar. Senyumnya ia paksakan untuk terukir. Dia sudah tahu hal itu mungkin saja bisa terjadi. Tapi dia tidak bisa memaksakan takdir. Hanya berusaha tabah yang bisa dia lakukan sekarang.
"Alhamdulillah," ucapnya. Ia kembalikan ponsel itu pada pemiliknya.
"Kamu yang tabah. Ini sudah menjadi risiko karena kamu tak mengambil langkah untuk langsung meminangnya saat pulang ke Indonesia waktu itu. InsyaAllah gantinya lebih baik ya," ucap Rayan mencoba menyemangati.
Zayan tersenyum, menutupi lukanya. Bohong jika ia tidak merasakan denyutan nyeri dalam sanubarinya. Gadis itu adalah salah satu impian terbesar yang sedang Zayan tuju. Itulah sebabnya ia tak mau menghubungi Naya sedikitpun. Ia ingin terus belajar sembari meluruskan niatnya.
Tiba-tiba hatinya sedikit menyesal. Merasa ia sudah melewatkan kesempatan berharga. Dia pikir dia ingin fokus dulu menyelesaikan pendidikan. Ia merasa masih perlu belajar dan mempersiapkan diri. Meski berulang kali Rayan menyarankan untuk langsung saja melamar. Karena menurut kembarannya itu Zayan sudah cukup matang untuk berumah tangga.
Zayan tak mengindahkan saran Rayan karena ia juga berpikir Naya sedang berada di semester akhir kuliah. Zayan mengira Naya akan fokus terlebih dahulu. Itulah sebabnya bahkan Zayan tak menemui gadis itu saat ke Indonesia. Zayan takut menganggu Naya, mengingat Naya bukan perempuan pelupa. Zayan yakin sampai saat ini dia pasti masih mengingat Zayan pernah menyatakan cinta padanya. Meski dirinya sendiri tak tahu bagaimana perasaan Naya. Dan sekarang terjawablah semuanya. Ainayya, memang tidak bisa membalas cintanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Terakhir Bersamamu (Complete)
SpiritualNaya, gadis tujuh belas tahun itu mengalami goncangan batin yang cukup hebat saat orang yang dicintainya meninggalkanya secara sepihak. Harinya selalu dipenuhi dengan bayang masa lalu. Meski sekuat tenaga ia berlari menjauh kenangan itu seolah mengi...