Perlahan aku membuka mata yang terasa berat. Cahaya beransur-angsur tertangkap retina mataku. Yang pertama kulihat adalah atap indekosku. Pandanganku beralih, aku mendapati Kak Haura duduk di sampingku sembari mengusap kepalaku pelan.
"Sudah bangun, Dek?" Tanyanya dengan nada sedih meskipun bibirnya tersenyum tipis.
Aku mencoba membalas senyumannya semampuku. Kucoba bangkit perlahan dengan bantuan Kak Haura, kemudian bersandar di tembok beralaskan bantal.
"Minum dulu," titah Kak Haura menyodorkan segelas air putih. Aku menyambutnya seraya mengucapkan terimakasih.
Mas Abyan masuk menenteng plastik berwarna putih. Sepertinya baru membeli makanan di luar.
"Kenapa bisa pingsan? Sejak kapan kamu lupa makan?" tanyanya dengan mimik wajah sangat serius. Aku baru ingat memang terakhir makan kemarin sore.
Aku hanya menunduk saja diberi tatapan begitu oleh Mas Abyan. Dia pasti sungguh khawatir penyakit mag-ku kambuh.
"Sudahlah, Mas. Jangan bertanya dengan nada begitu. Naya baru sadar loh. Kemarikan nasinya biar aku suapin," kata Kak Haura.
Mas Abyan menghembuskan napas. Pandangannya berubah teduh.
"Mas khawatir, Dek. Jangan telat makan lagi. Kamu tiga minggu lagi mau menikah Naya. Jangan sampai kamu sakit," ucapnya.
"Bagaimana jika tadi Mas dan Haura tidak mampir ke sini, kamu akan tergeletak berapa lama di lantai Nay?" Lanjut Mas Abyan.
Menikah? Ya, sebentar lagi aku mau menikah. Tapi kenyataan yang baru kudengar tadi pagi membuatku seperti kesulitan bernapas. Sekarang aku mengerti kenapa saat menerima undanganku wajah Om Adrian terlihat sedih. Zayan masih mencintaiku hingga saat ini? Dia sedang berjuang untukku?
Aku yakin Om Adrian sudah memberi kabar tentang pernikahanku. Apa Zayan terluka?
Ya Allah? Kenapa keputusanku selalu saja membuat orang lain terluka. Dahulu Keira, Naifa, Fauzi, Nenek Aminah. Dan sekarang aku juga melukai Zayan? Aku pikir dirikulah yang paling terluka selama ini. Tapi ternyata tidak, akulah penjahatnya.
"Hey, kenapa menangis? Apa perkataan Mas melukaimu, Dek? Sungguh, maafkan Mas. Mas nggak bermaksud memarahimu, Mas hanya khawatir."
Aku menggeleng, segera saja aku menghambur ke pelukan Mas Abyan. Aku menangis tergugu dalam dekapannya. Aku ingin membagi bebanku padanya.
Mendengar tangisanku, Hafshah yang tadinya sedang lelap tidur tiba-tiba terbangun dan menangis. Kak Haura menenangkannya di depan indekosku.
"Ada masalah apa? Cerita sama Mas," ucap Mas Abyan sembari mengusap kepalaku pelan. Aku mengeratkan pelukanku. Rasanya aku ingin semua ini hanyalah mimpi yang sedang aku alami, dan aku berharap semuanya akan segera berakhir saat aku terbangun.
Setelah agak tenang, aku meminum air beberapa tegukan. Kutatap mata Mas Abyan dengan pandangan sangat terluka. Bahkan selayak penyakit yang menular, tatapan lara itu ikut tercipta di mata Mas Abyan. Dialah satu-satunya manusia yang paling mengerti keadaanku tanpa aku harus mengeluarkan banyak kata-kata.
"Apa kamu tidak bahagia menerima Terang?"
Air mataku tumpah lagi, pertanyaan singkatnya menghujamkan belati yang begitu menusuk di dasar hatiku. Bolehkah aku bahagia dengan pilihanku? Bolehkah aku bahagia tanpa memikirkan hati yang telah terluka dengan keputusanku?
Akhirnya aku menceritakan semuanya tanpa ada sedikitpun yang terlewat. Awal aku bersama Terang, siapa sebenarnya Zayan, bagaimana aku berteman dengan Naifa, pertemuanku dengan Fauzi dan neneknya, juga semua yang terjadi di antara kami. Ingin rasanya aku pingsan lagi, merebahkan pikiranku yang penuh dengan masalah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Terakhir Bersamamu (Complete)
SpiritualitéNaya, gadis tujuh belas tahun itu mengalami goncangan batin yang cukup hebat saat orang yang dicintainya meninggalkanya secara sepihak. Harinya selalu dipenuhi dengan bayang masa lalu. Meski sekuat tenaga ia berlari menjauh kenangan itu seolah mengi...