Perjalanan 2

1K 125 8
                                    

Setelah tujuh jam lamanya berada di kereta. Akhirnya mereka 'pun tiba di salah satu stasiun, yaitu stasiun banyuwangi baru. Sekarang mereka sedang duduk sambil menunggu mobil jemputan dari teman om nya Karina, untuk diantarkan ke dermaga.

"Aduh, pantat gue pegel!" keluh Rosi yang diangguki oleh semuanya.

"Mobilnya langsung dari penginapan, Kak?"tanya Jiaya.

"Enggak, kata om gue sih, itu temennya yang sewain mobil travel gitu. Dia bakalan nganterin kita ke dermaga." Mereka hanya ber 'oh' ria mendengar betapa suksesnya keluarga Karina sambil menunggu.

Tiba-tiba ada sesuatu yang mendesak akan keluar. Ia segera menitipkan kopernya ke Rosi lalu pamit,

"Ros, gue mau ke toilet dulu ya. Udah kebelet nih" kata Jiaya terburu-buru. Rosi berdiri, "ayo gue temenin."

Jiaya menolak, "gak. Gak usah, lo di sini aja jagain koper gue." Rosi terkekeh, "orangnya di jagain, koper mah bisa dicari lagi kalau hilang."

Jiaya tetap kekeuh menggeleng, lalu Rara bertanya "kak, mau Rara temenin?". Supaya lebih cepat, Jiaya ingin mengangguk tapi..

"Ayo, gua temenin" kata Genta. Semuanya melongo. Apa? Tapi kan Jiaya perempuan. "Gak usah, Ta. Mau ikut kamu ke kamar mandi cewek?"

Dijawab Genta dengan telak, "iya." Lalu Eja, Haje, dan Jevan terkekeh geli. "Ck, pikirannya. Gua tungguin di depannya."

"Gak ah. Sama Rara aja, yuk Ra." Ajakan Jiaya diangguki Rara. Lalu mereka pun berlari mencari sebuah toilet. Ternyata cukup jauh dari tempat mereka duduk.

•••

Sepi amat nih toilet, Batin Jiaya.

"Ra, kamu tungguin aku ya. Jangan kemana-mana, jangan pergi pokoknya. Oke!"

"Oke, kak."

Jiaya masuk ke dalam bilik toilet. Rara mulai terbiasa dengan Jiaya. Ia merasa kalau Jiaya sudah seperti kakaknya. Rara sangat ingin memiliki kakak yang bisa menjaganya. Gadis itu memang mengakui kalau dia lengah dalam menjaga diri. Harus ada penjaga, atau semacamnya. Dan lagi, mamanya sangat keras dan kasar. Entah sejak kapan mamanya berubah menjadi seperti itu, intinya..dulu mereka pernah bahagia.

Rara berkaca. Ada rasa sesak yang mulai menjalar ketika ia mengingat masa lalunya. Ketika gadis itu berkaca, ia selalu merasa tidak berguna, malu, dan takut. Tangannya mengepal menggebuk-gebukkan dadanya yang sesak. Raut wajahnya yang mulai ketakutan, dan bibirnya mulai memucat.

Tok tok tok

"Ra!. Ada yang namanya Rara gak!. Raraaa." Suara itu, itu adalah suara Haje. Berkat suaranya, Rara tersadar kembali.

Ia segera membuka pintu toilet dengan lemas. Ketika Haje melihat wajah Rara yang pucat pasi, juga keringat mulai menetes di keningnya, tebakkan Haje sudah pasti benar.

"Ra. Gak apa-apa, ada gua" ucap Haje sambil memeluknya. Rara kembali merasa tenang, jantungnya tak lagi berdetak sekencang tadi.

Ceklek

"Ra! Raraa," panggil Jiaya mencarinya. Ia segera membuka pintu toilet. Dan melihat bagaimana mereka berpelukan di depannya. "Wow," kagetnya.

Rara segera melepaskan dirinya dari pelukan Haje lalu bertingkah seperti anak kucing yang malu-malu. Sementara Haje dalam hatinya begitu khawatir dengan Rara sampai rasanya ia mau memarahi Jiaya. Tidak. Tidak boleh, karena Jiaya pun tidak tau apa-apa.

"K-kak, gak gitu kok" Rara membantah pikiran Jiaya. "A-aku..."

"Gak apa-apa, Ra. Bukan urusan aku juga. Yuk, ah!"

TOXICLOVE (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang