Sadar

1.6K 137 5
                                    

Entah kenapa setelah kejadian pertengkaran itu bukannya malah merasa menang ia malah merasa kesepian. Genta memutuskan untuk pergi ke makam neneknya. Saat itu hari biru memudar berubah menjadi orange kegelapan. Berharap dengan ini hatinya menjadi lebih tenang dan damai. Mata sendu menatap papan kayu di sana.

Tertulis di sana namanya,
Margarretta Cyntya Tama.

"Goedemiddag oma..."

Terhenti sebentar untuk mengusap papan kayu sang nenek tercinta. "Mis je," sambil tersenyum manis.

Sambil diusapnya tanah merah itu, "bunganya baru. Ada yang ke sini ma? "gumam Genta. Keningnya berkerut sambil berfikir.

Karena sore sudah mulai berganti menjadi malam, akhirnya Genta pun memutuskan untuk berpamitan. Masih ada rasa kangen, tapi apa boleh buat.

"Pamit ya ma. " Genta segera berjalan cepat menuju keluar area pemakaman dan mengendarai motornya dengan laju yang cukup kencang.

Ada sesuatu yang harus ia pastikan.

•••

Brak!

Dengan tidak sopannya Genta membuka pintu sampai pintu itu memantul kembali.

"Mage? "
"Nak? "

Melihat sepasang insan manusia di depannya saat ini adalah hal yang paling ia benci. Ya, di depannya kini ada ibu dan ayah kandung yang selama beberapa tahun ini tidak pernah bertemu sekalipun, orangtua yang memilih hidup terpisah bahkan tanpa salah satunya mau membawa Genta untuk ikut tinggal bersama. Tega memang.

Genta mengepalkan tangannya sampai terlihat urat-urat ototnya.

"Keluar, " ucap Genta dingin. Arkajaya —papanya, ingin mendekat. Bukannya mundur Genta malah maju seraya untuk memecahkan sebuah vas bunga.

Prang!

Brak!

"Mage! Jangan! Itu papa mu, nak."

Pecahan kaca itu ia gunakan sebagai senjata untuk memojokkan Arka ke dinding dengan cara menarik kerah pria itu kencang lalu mendorong, menghantamnya kuat ke dinding. Mata Genta menjadi gelap dan tubuhnya berkeringat menahan emosi, sedangkan Arka sangat merasa sedih karena sikap anaknya menjadi sangat liar dan buruk seperti ini kepadanya. Karena dia juga, ia akui itu. Mata sendu Arka, mata tajam Genta, serta mata ketakutan Gina. Mereka bertiga dalam keadaan yang menegangkan. Dimana sebuah keluarga memiliki kesalahan dan dosa yang harus mereka tebus serta dendam yang tertanam.

"Mage ini papa, nak" ucap Arka terbata-bata. Dia terkejut dengan tenaga anaknya. Ia sadar kalau anaknya sudah bukan anak berusia empat tahun lagi.

"Nggak! Lu itu cuma orang jahat yang seenaknya masuk ke rumah orang tua gua!"jawabnya ketus. Benda tajam itu masih bertengger di leher Arka, satu centi lagi akan menusuk urat nadinya. "Kenapa lu ada di sini? Hah! "

"Mage.. "

"Mage! Dia papamu, jangan kurang ajar!"teriak Gina. Genta terkekeh lalu semakin mengeratkan cengkraman di kerah Arka dan mendekatkan pecahan keramiknya.

"Apa lu bilang? Papa? Lu budek ya? Baru aja gua bilang kalau Mama gua baru aja meninggal dan papa gua udah meninggal dari lama. Jadi, tolong hargai! Seenggaknya gak usah ngaku-ngaku."

"Maafin papa, Ge. " Arka tak kuasa menahan airmata melihat amarah meluap di mata anaknya. Bukan kalah tenaga juga sih, hanya saja ia tidak mau melawan anaknya sendiri.

"Balikin 13 tahun gua, balikin mama papa gua, baru bisa gua maafin." Genta menarik nafas, "Gak bisa kan? Mending lu berdua pulang aja sana!" usir Genta.

Tiba-tiba ada suara tertawa bahagia datang dari arah pintu menuju ruangan ini. Ia tidak peduli, sampai akhirnya ada suara yang membuatnya semakin jatuh.

"Papa? "

"Papa! "

Suara dua anak kecil Genta. Ia bodoamat sampai saat dimana ia terkejut karena merasa ada tarikan kecil dicelananya.

"Tata? "

Kakak? Gua.. kakak?

Cowok itu melepaskan Arka kasar, dia menatap kedua bocah kecil itu dengan amarah yang terpendam. Gina ikut merasakan kepedihan anaknya, ia meneteskan airmatanya sendiri. Merasakan penderitaan anaknya yang sangat pedih. Bahkan dengan melihat bagaimana Genta memainkan lidah dan mengepalkan tangannya hingga keluar aliran darah, ia ingin mendekat namun diurungkan.

"Tata! Angan tata alah? "
(Kakak! Tangan kakak berdarah? )

Arka menggendong anak kecil yang satunya, yang lebih pendiam.

Ketika matanya menangkap ada wanita berkulit putih yang sedang menggendong seorang bayi, lagi-lagi ia jatuh pada titik terendah hidupnya. Tak kuasa menahan airmata karena saking sesak di dadanya, Genta pun meneteskan setetes airmata di celah mata merahnya.

"Oh.. ini? "
"Mana selingkuhan sama anak lu?"

Gina terkejut menatap mata anaknya sendu, Genta kembali bersuara dengan pedas, "gak ikut sekalian?".

"Mage.."

Genta memalingkan wajahnya dan memutuskan untuk pergi dari rumahnya. Dan di sana, kedua orang tua Genta yang terpisah sedang menangis meratapi kebodohan mereka hingga malam di sana.

Sementara, Genta sedang berada di cafe tongkrongan bersama teman-temannya.

•••

01.30

"Mereka ke rumah."

Ijo terkejut di sana, "udah ge, udah. Gua tau lu bisa tanpa mereka, tapi lu juga harus bisa maafin mereka-"

"Gak."

"Dengerin dulu, napa!. Bukan berarti lu kalah, lu cuma maafin. Dengan maaf bukannya hati lu bakalan tenang, lu bisa bangkit, lu bisa kayak dulu lagi, Ge. Stop berfikir kalau 'maaf' sebuah kekalahan. Coba ikhlas, gua jamin hidup lu gak ada tuh patah-patah lagi."

"Stop. Udah, lu pikirin aja kaki lu yang patah itu. Gua mau balik juga, udah malem."

"Iya sono balik!"

Sambungan telfone terputus. Lalu Genta memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Benar saja, mereka sudah tidak ada. Rumah Genta kembali sepi.

"Hah..hidup..hidup..."

Flashback pukul 21.21

Keadaan cafe cukup sepi. Di sana hanya ada beberapa teman Genta dan pelanggan lainnya. Ternyata, ada salah satu orang yang ia kenal.

Siapa lagi kalau bukan, Keno.

"Ngapain dia di sini?" Genta menghampiri Keno yang sedang memesan coffee. Menariknya keluar hingga berada di bawah sebuah pohon yang tidak jauh dari cafe itu.

"Weits selow!"

"Ngapain lu?"

"Buta? Beli kopi lah," jawab Keno terkekeh. Genta menarik kerah baju Keno lalu begitupun sebaliknya.

"Gua kasih tau sama lu, ini tempat tongkrongan gua sama temen-temen gua. Jangan pernah lu ke sini atau niat ke sini. Kalau sampe gua liat lu berani ke sini lagi-"

"Eh! Bro!, Sewot bener lu sama gua hah? Kenapa si? Ada masalah apa kita? Oh iya, masalah cewek ya.." katanya menjeda kalimat

"..gua kasih tau juga ke elu, gua gak ada niatan rebut cewek lu. Kecualiii kalau lu emang bener-bener mau ngelepas dia. Bro! Kemarin gua maklumin karena lu lagi marah. Pake otak dikit jangan otot mulu dipake, kita udah dewasa men. Tapi kalau sampe lu kasar sama Aya lagi, dan gua tau itu...

..gua bener-bener bakalan jauhin Aya dari lu, dan gua bakal jagain dia."

Saat itu Genta bener-bener diam. Dia membiarkan Keno lolos begitu saja tanpa pukulan. Karena ia sudah sadar sesuatu.

Dia sudah salah jalan.

•••

Hai yoooo
Balik lagi

Hihihi! Love buat kalian ;;;;



























TOXICLOVE (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang