graduate

626 92 16
                                        

toxiclove


Sejak hari itu, komunikasi di antara mereka benar-benar terputus—tepatnya, Jiaya yang memilih memutuskan segalanya. Hari libur pun berlalu, dan perlahan kehidupan kembali berjalan seperti biasa. Namun bagi Jiaya, hari-hari itu jauh dari kata tenang. Bayang-bayang Genta masih sering hadir, menghantui pikirannya di sela-sela aktivitas.

Meski begitu, Jiaya mencoba menjalani hidupnya dengan tegar. Ia kembali ke sekolah, mengikuti les, sibuk dengan berbagai kegiatan demi mengalihkan pikirannya dari luka yang masih menganga. Genta pun tak berbeda—ia juga berusaha menyibukkan diri, meskipun jelas terlihat bahwa pikirannya tak pernah benar-benar lepas dari Jiaya.

Tak jarang, Genta sengaja menampakkan diri di depan Jiaya di lingkungan sekolah. Ia berusaha—dengan segala cara—untuk memperbaiki hubungan mereka. Tapi apa daya, luka yang sudah terlanjur dalam tak bisa sembuh hanya dengan kehadiran. Jiaya tetap menolak, menahan dirinya agar tidak luluh. Ia memilih diam, tak menanggapi sapaan atau upaya Genta yang berkali-kali mencoba mendekat. Namun, ia masih punya cukup ketegaran untuk tetap menatap mata Genta sesekali, menjawab seperlunya. Karena sekeras apa pun usahanya melupakan, Jiaya tahu: ia pernah bahagia bersama Genta. Dan itu adalah kenyataan yang tak bisa ia lari darinya.

Waktu pun berjalan tanpa kompromi, hingga akhirnya hari kelulusan tiba. Suasana sekolah dipenuhi haru dan kebanggaan. Dalam satu angkatan, Jiaya berhasil meraih peringkat ketiga dengan nilai kelulusan terbaik. Rasa syukur membuncah dalam dadanya. Dengan langkah mantap dan kepala tegak, ia maju ke panggung, lalu menyampaikan pidato singkat di hadapan para siswa, guru, dan orangtua.

Sesaat, pandangannya melirik ke sisi kiri ruangan—tempat di mana Genta duduk bersama teman-temannya. Ia duduk sendirian, tanpa orangtua yang menemani. Tapi matanya... hanya tertuju pada Jiaya. Ada kekaguman yang tidak bisa disembunyikan, tatapan dalam yang seolah ingin menyampaikan berjuta kata yang tak sempat terucap. Dan di panggung itu, untuk sekejap, Jiaya membiarkan dirinya menatap balik—bukan karena rindu, bukan karena harapan, tapi sebagai penghormatan terakhir untuk cerita mereka yang pernah indah... dan kini tinggal kenangan.

 dan kini tinggal kenangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Congrats, Ay.”

•••

Berikut versi percakapan yang telah diperbaiki agar lebih natural, mengalir, dan emosional:

“Wohoo! Congrats, Jia! Lo emang keren banget. Gue bangga punya temen kayak lo,” kata Risa sambil memeluk Jiaya singkat.

Jiaya terkekeh sambil menunduk malu. “Makasih, Ris. Lo juga, congrats ya! Peringkat lima seangkatan itu bukan main, lho.”

“Ah, apaan sih, cuma lima.” Risa mengangkat bahu merendah, lalu matanya melirik ke arah koridor. Ia menyenggol lengan Jiaya pelan. “Eh, liat deh... Genta dari tadi ngeliatin lo terus.”

TOXICLOVE (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang