Epilog

24.4K 977 32
                                    

Waktu semakin bergerak cepat, bumi semakin tua tapi manusia semakin terlena dengan indahnya dunia hingga lupa dengan bekal yang harus dibawa untuk akhirat nanti.

Lima tahun sudah Kia lewati, memang benar mengarungi bahtera rumah tangga sama halnya dengan mengarungi dalamnya lautan. Penuh perjuangan, Kia banyak belajar arti dari kehidupan, kebahagiaan dan kesabaran.

Naik turunnya perjalanan tentu tidak mudah, apalagi di awal yang menurut orang-orang awal pernikahan adalah awal yang paling manis namun tidak bermakna bagi Kia. Ya, Kia menikahi seorang lelaki yang hatinya saja masih dipenuhi oleh satu nama yang sepertinya sangat dicintai sampai-sampai tidak ada celah untuk menembusnya. Namun, dengan keyakinan kuat dan pastinya do'a yang terus dipanjatkan akhirnya portal penghalang itu berhasil ditembus hingga sampai di tahun sembilan pernikahannya.

"MAMA...."

Suara yang selalu menyapanya saat siang... ya itu adalah putra sematawayangnya Kia dan Daffa, Putra... bayi mungil yang bisa dibilang menjadi saksi nyata perjuangan Mamahnya.

Kia yang saat itu sedang melihat album pernikahannya langsung tersenyum melihat putranya berlari ke arahnya dan tentunya dengan senyuman lalu dengan antengnya duduk dipangkuan sang Mama.

"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh," ucap Kia sembari menoel hidung mancung putranya.

Putra, bocah berumur enam tahun itu memberikan dereta gigi putihnya lalu berkata, "Assalamu'alaikum Mamah sayang."

Kia tersenyum. "Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Nah gitu, masuk rumah itu ucapin salam bukan teriak-teriak cari Mama."

"Maaf, Kaka Zavier janji deh gak ulang-ulang."

Kia mengusap rambut hitam putranya. "Gimana tadi sekolahnya? Kok lama banget sampenya? Anter pulang uzha sama uzhi dulu sayang?"

Ekspresi Putra seketika berubah dan mengangguk. "Sekolahnya menyenangkan tapi uzha yang gak menyenangkan, uzha terus gangguin Kaka terus Ma...."

"Kakak uzha mau main sama kaka, cuma kaka nya yang terus ngejauh. Ya iya kaka uzha kan emang gitu orangnya." Suara itu berasal dari Daffa yang baru saja masuk dan berjalan kearah dua orang yang sangat dicintainya.

"Kaka Putra kenapa sih gak mau main sama uzha uzhi?" tanya Daffa yang sudah di samping Kia.

"Kaka Zavier no Kaka Putra, Papap!"

Semenjak usianya menginjak lima tahun memang Putra tidak senang dipanggil dengan sebutan 'Putra' alasannya karena nama Putra sudah banyak. Tapi Daffa atau Kia bahkan keluarganya selalu memanggilnya Putra. Tak ayal bocah enam tahun ini merajuk.

"Iya iya Kaka Zavier kenapa gak mau main sama si kembar?" ralat Daffa.

Putra menghembuskan nafasnya dan mengangkat bahunya. "Kaka Zavier kalau ketemu uzha atau uzhi bawaannya kesel aja. Gak tau kenapa, makanya Kaka Zavier suka kabur kalau ada mereka."

"Kaka Zavier gak boleh milih-milih gitu, sayang. Gak baik, berteman dengan siapa aja, biasain ya." Kali ini Kia yang berbicara.

"Tuh dengerin Mamahnya."

"Iya deh iya Kaka Zavier bakalan biasain buat biasa aja."

"Nah bagus, baru kesayangan Mama sama Papap nih! Yuk ganti baju dulu," ucap Kia.

"Ganti bajunya sama Papap aja yuk sayang. Mamahnya kesian," ucap Daffa.

"Ih gak ah, Papap kan harus ganti baju juga. Gak papa sama Mamah aja."

"Nurut apa kata suami. Udah kamu diem aja di sini, ayok Ka...."

Putra mengangguk lalu beranjak dari duduknya. "Kaka Zavier ganti baju dulu ya Mah."

Satu Shaf di Belakang Mu [Squel IUM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang