Menyadari semuanya di saat semuanya telah usai
Masih di tempat yang sama dan suasana yang sama, Daffa memasuki ruangan yang sudah seminggu ini ia kunjungi. Keadaannya masih sama, tapi ia berusaha untuk tegar saat di hadapan keluarga dan putra kecilnya.
Ia menyimpan snelli nya di kursi, kakinya melangkah ke ranjang kesakitan, tempat dimana istrinya masih terbaring dengan mata tertutup.
Keadaan Kia sudah baik-baik saja, tapi matanya seperti enggan membuka, Dokter Mala pun menjelaskan jika semuanya sudah normal dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Assalamu'alaikum, Ki. Udah hari ke tujuh kamu nge hukum saya dengan cara gini. Putra kita butuh kamu," ucap Daffa yang sudah duduk di kursi dengan tangan yang mengelus lengan Kia.
"Ah iya! Tadi kata dokter Kiki, putra kita hari ini pulang. Dan anehnya putra kita malah rewel, saya aja sampe gak bisa nenanginnya dan ummahnya bilang kalau kamu juga bakal nyusul dia ke rumah terus dia tenang gitu... kayaknya dia tahu kalau Mama-nya masih di sini. Dia maunya pulang sama kamu, di gendongan kamu...."
Tangan Daffa membelai kepala Kia. "Sayang.... Kamu selalu bilang, kan kalau Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya terus-terusan mengangkat kedua telapak tangannya untuk meminta hal yang sama? Akan ada waktunya harapan kita akan terkabul, dan itu yang saya sangat harap.... Kamu buka mata kamu lagi, tapi kayaknya kamu kecapean banget ya? Tidur kamu lama banget, sayang...."
Daffa menengadah kepalanya, menahan bulir-bulir air mata itu, tidak! Kali ini ia tidak boleh rapuh... Kia selalu bilang 'Kamu itu imam, kalau kamu rapuh terus putus asa, aku bergantung sama siapa?'
"Oh iya.... Tadi saya ke rumah sakit terus saya marah sama haikal, gak papa ya? Ini karena dia bilang kangen sama kamu, masakan kamu... Kurang ajar banget ya, untung aja itu rumah sakit, kalau bukan sudah saya hajar... Berani-beraninya dia bilang gitu, hanya saya yang boleh...."
Daffa melihat arlojinya, jam tiga... Bearti sebentar lagi adzan ashar berkumandang, ia beranjak dari duduknya dan mengambil mukena kesayangan Kia dan memakaikannya.
"Bentar lagi ashar, Ki. Kamu paling gak suka kalau salatnya telat, kan? Saya ambil wudhu dulu, kita salat berjamaah lagi ya?" Daffa terus bermonolog seakan-akan istrinya itu sadar.
Kakinya berjalan ke arah kamar mandi untuk mengambil wudhu, ini yang ia lakukan setiap waktu selama seminggu... Ia menggelar sajadah nya tepat di depan ranjang Kia.
Saat adzan selesai berkumandang, dan terdengar iqomah, Daffa berdiri dan menunaikan kewajiban nya sebagai muslim. Lagi-lagi satu hal yang ia pinta, Kia... Istrinya kembali bersamanya dan putra kecil mereka.
Selesai salat, Ia kembali membereskan sajadah dan membuka mukena Kia.
"Ki, saya lihat putra kita dulu ya... Kamu bobo dulu di sini ya Assalamu'alaikum."
Sebelum benar-benar keluar dari ruangan Kia, Daffa kembali mengecup kening Kia.
Keluar dari ruang perawatan Kia, ia melihat Umi Lala dan Ica.
"Umi, sejak kapan di sini?" tanya Daffa.
Umi Lala menyeka air matanya. "Baru kok nak Daffa. Nak Daffa mau ke ruang bayi ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Shaf di Belakang Mu [Squel IUM]
Roman d'amour"Jika hadirku tidak berarti apa-apa untuk mengubah hatimu untukku maka izinkan aku untuk selalu ada satu shaf di belakangmu sampai akhir hayatku" Kiandra syahla putri kasyafi~ "Hatimu bersih, tubuhmu kebal dan saya adalah orang yang sangat buruk nam...