Part 24

14.1K 877 53
                                    

Malam menyapa, Kia masih berdiri di balkon. Jam sudah menunjuk pada angka sepuluh tapi Daffa masih belum terlihat, telepon nya pun berulang kali tidak ada jawaban.

Bolehkah Kia khawatir? Tidak biasanya, angin malam masuk ke tubuhnya dengan perlahan tangan Kia pun mengeratkan pelukannya dengan tetap menggengam handphonenya.

Suara pintu terdengar, Kia langsung melihat siapa yang masuk, ternyata Mbak Dian.

"Ibu maaf saya lancang, tapi sudah berulang kali saya ketuk Bukia tidak menjawab."

"Iya gak papa, mbak. Saya sedang di balkon jadi gak kedenger, ada apa, Mbak?" Kia terpaksa masuk dan menutup pintu balkon juga hordengnya.

"Itu, Bu. Tadi ada telepon dari rumah sakit katanya bapak sedang ada jadwal operasi, mungkin bapak minta tolong buat ngehubungin Ibu."

Kia akhirnya lega, ia tahu sekarang suaminya kemana. "Oh iya Mbak. Makasih ya maaf ngerepotin sampe ke atas segala."

Mbak Dian tersenyum. "Gak papa Bu. Ibu istirahat ya, kesian dede-nya."

Tangan Kia mengelus perutnya. "Iya, Mbak. Mbak juga ya, nanti pintu sampingnya kunci aja ya."

Mbak dian mengangguk patuh lalu berpamitan dan Kia memilih untuk berganti pakaian. Mungkin operasi ini cito karena apapun yang akan Daffa lakukan selalu ia beritahu.

Baju tidur Kia sengaja disamakan dengan pakaian Daffa, Kia memakai baju tidur berwarna maroon, karena perutnya yang sudah besar, Daffa membelikan baju tidur dress lengan pendek. Setelah memakai baju tidur, Kia menyimpan baju Daffa di meja tempat biasa Kia menyiapkan baju kerja suaminya.

Rambut Kia mengurai sampai pinggang, selama hamil memang Kia jarang memotong rambutnya, sembari duduk di meja rias Kia menyisir rambutnya. Kaki yang sudah membengkak itu berjalan ke kasur, akhir-akhir ini Kia sering mengalami pegal-pegal dan kepanasan, walau sudah memakai AC tetap tidak berlaku sampai pernah AC diputar ke minimal dan Daffa diminta untuk mengapasi Kia. Alhasil, Kia tertidur dan Daffa tidak karena kedinginan.

Tidur Kia terganggu karena ada sebuah tangan yang memainkan rambutnya. Mata Kia terbuka perlahan, pertama yang ia lihat adalah Daffa yang masih lengkap dengan pakaian tadi pagi namun kancing kemeja bagian atas yang terbuka.

"Baru pulang?" tanya Kia dengan suara serak khas orang bangun tidur.

Daffa tersenyum tapi ada segaris lelah di sana. "Maaf saya buat kamu bangun."

Kia menggeleng, ia pun berusaha untuk duduk. "Gak kok, mau aku siapin air panas buat mandinya?"

"Gak usah, saya udah set air nya. Sebentar lagi juga hangat."

"Udah makan?"

"Tadi sebelum maghrib."

"Astaghfirullah, kebiasaan suka lupa makan, mau aku bawain makanan?"

Daffa menyelipkan rambut Kia di telinga. "Gak usah, kamu diem aja udah."

"Padet banget ya hari ini?"

"Ya gitu lah. Maaf saya gak ngabarin tentang operasi tadi. Maaf udah bikin kamu khawatir," ucap Daffa sangat lembut.

"Iya gak papa." Tangan Kia meraih tangan besar Daffa dan menuntunnya ke perut dirinya.

"Masih cape?" tanya Kia saat tangan mereka berada di perutnya dan gerakan di dalam perut Kia terasa.

Daffa tersenyum dan menggeleng, seketika rasa capenya hilang saat merasakan gerakan buah hatinya, hatinya menghangat.

Wajah Daffa mendekat sampai Kia bisa mendengar hembusan napas suaminya, refleks mata Kia terpejam saat bibir Daffa mengecup kening Kia.

"Makasih, Ki... Apapun yang saya keluhkan kamu selalu menjadi penawarnya. Makasih selalu ada untuk saya."

Satu Shaf di Belakang Mu [Squel IUM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang