Part 22 Mundur

16.4K 934 23
                                    

Back out? Much better
®

Bau obat-obatan menyeruak di penciuman Kia, perlahan kesadarannya kembali. Matanya mulai membuka, netra itu menyesuaikan dengan cahaya di ruangan serba putih ini.

Melirik tangannya yang sudah ditusuk oleh jarum infus. Pintu kamar mandi terbuka menampilkan sosok yang saat ini tidak ingin Kia temui.

Menyadari sesuatu, tangan yang tidak diinfus langsung memeriksa perutnya, gumaman alhamdulillah terdengar saat perutnya masih seperti semula.

"Sudah sadar?" Suara yang membuat mata Kia kembali berkaca-kaca itu terdengar di gendang telinga Kia.

Mata Kia berpaling dari lelaki yang bertitel 'suami' sejak dua tahun lalu. Derap langkahnya terdengar, jangan sekarang! Kalau Kia berani berkata untuk Daffa diam dan tidak mendekat mungkin sudah Kia katakan sedari tadi, namun lagi-lagi mulutnya terkunci.

Tidak lama muncul satu dokter dan beberapa perawat kemudian memeriksa Kia.

"Syukurlah tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Bu Kia sudah sadar penuh. Lain kali jangan buat istri anda memikirkan sesuatu dengan berlebihan karena itu akan sangat berbahaya untuk ibu dan calon anak anda nanti. Saya kira tanpa saya jelaskan, anda sudah tahu, Pak Daffa," ucap Dokter yang menangani Kia.

Kia baru sadar jika ini bukan rumah sakit yang biasa Kia check up, rumah sakit ini rumah sakit tempat Daffa bekerja.

Daffa hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih setelah itu ahli medis pamit dan tinggalah mereka berdua.

"Lain kali apapun yang kamu rasakan ceritakan kepada saya, Kia. Jangan dipendem sendiri, kalau lupa akan saya ingatkan jika di rahim kamu saat ini ada satu nyawa yang sedang menunggu untuk dilahirkan. Untung saja pak dodo langsung membawa kamu ke rumah sakit," ucap Daffa seolah di sini yang salah adalah Kia.

Ingin rasanya Kia memaki-maki suaminya sendiri sekarang, tolonglah! Siapapun yang mengetahui sakit hatinya Kia saat ini boleh caci maki suaminya ini.

"Suami lagi bicara kamu terus berpaling dari saya. Kenapa sih?"

Kia masih tetap dalam pendiriannya, ia terus melihat ke luar jendela yang sudah gelap.

Daffa menghembuskan napasnya. "Oke kalau kamu belum siap cerita, lain kali dengerin apa yang saya katakan. Kamu itu istri saya, sudah kewajiban saya sebagai suami menjadi tempat pulang istrinya."

"Jika suami sendiri sudah tidak bisa dijadikan tempat akhir, lalu aku harus kemana?" Pertanyaan itu dilontarkan Kia tanpa disadari.

"Maksud kamu?"

Kia sedikit bergerak membenarkan posisi tidurnya. "Sudahlah, aku sedang malas berdebat. Ini sudah malam, kan? Aku mau tidur."

Daffa hanya menatap istrinya yang perlahan menutup matanya kembali. Kia tidak sedikit pun melihatnya, ada apakah? Tidak tahukah jika Daffa sangat khawatir? Apalagi saat Pak Dodo menelpon dirinya dan memberitahukan bahwa Kia pingsan di mobil, jangan ditanya bagaimana kalut dan paniknya lelaki itu.

Selepas menemani Alesha yang sedang dilema, Daffa segera kembali ke rumah sakit dengan satu hal yang mengganjal di hatinya, apakah ia akan menepati janjinya kepada Alesha? Walau bagaimana pun yang ia katakan tadi tidak sepenuhnya benar, ia hanya menenangkan wanita itu. Saat kakinya menginjak tangga pintu masuk, handphonenya berdering.

Pak Dodo terpangpang di layar handphonenya, langsung ia mengangkatnya terdengar suara panik di sana.

Tangan Daffa mengepal saat mendengar Kia tidak sadarkan diri, karena jarak paling dekat adalah ke rumah ini maka Daffa langsung memerintahkan Pak Dodo untuk ke sini.

Satu Shaf di Belakang Mu [Squel IUM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang