37. Pupus

3K 149 37
                                    

Vote dulu yo.

“Ketika cinta kamu pupus, maka semua yang tersisa hanyalah kenangan, dan satu lagi. Rasa sakit.”
-PosesifGildan

37. Pupus

Apa kamu tahu, bagaimana rasanya di hempaskan begitu saja saat cinta kamu padanya suudah begitu besar? Orang-orang menyebutnya “di tinggal pas lagi sayang-sayangnya”

Dulu aku berpikir bahwa orang-orang yang menangis hanya karena soal percintaan itu sangat lah lemah. Sekarang aku menyadari, menagis itu memang wajar, apalagi ketika kamu merasa seseorang yang kamu cintai sangat mencintai kamu, padahal mereka sedang merancang strategi atau menunggu waktu yang tepat untuk meninggalkan kamu.

Aku pikir yang terjadi pada diriku sekarang adalah karma. Karma karena aku pernah memandang lemah orang-orang yang menangis hanya karena percintaan. Dulu aku takut untuk jatuh cinta, aku hanya menjadi pengagum cogan dan tidak pernah perpikir untuk menaruh hati pada cogan-cogan mana pun. Sampai akhirnya seseorang datang secara tiba-tiba dan mengklaim diriku sebagai pacarnya, bersikap posesif layaknya seseorang yang tidak ingin kehilangan pacarnya, dan bertingkah romantis-ya di mataku itu suatu hal yang romantis. Dia membuatku yakin bahwa dia memang layak untuk diterima kehadirannya dan dicintai kembali olehku. 

Tapi, dia juga pergi tiba-tiba, seperti kehadirannya yang tiba-tiba juga. Sampai detik ini aku belum bisa mempercayai semua yang terjadi hari ini, bahkan barusan. Belum ada setengah jam dia membuatku menangis. Membuktikan padaku bahwa cinta memang bisa membuat seseorang mengeluarkan air matanya.

Aku berlari, melewati orang-orang yang menatapku dengan tatapan bingung campur penasaran. Kali ini aku tidak berani ke kelas, aku malu. Bagai mana jika orang-orang tahu aku menangis karena masalah percintaan. Apalagi kalau sampai Bulan melihatku menangis, dia pasti akan marah dan langsung menghajar Gildan habis-habisan. Aku tidak mau Bulan bonyok kena bogem Gildan.

Langkahku berhenti di taman belakang sekolah. Di sini aku bisa leluasa menumpahkan kesedihanku. Karena tempat ini sepi dan tidak akan ada yang mendengar sekeras apapun aku menangis.
 
“Kalau seandainya aku tau akhirnya akan kaya gini, aku gak akan pernah mau nerima Gildan. Aku gak akan pernah mau merasa nyaman sama dia,” aku menatap pohon besar di depan sana dengan tatapan kosong. Bahkan jika aku akan kesurupan pun aku tidak akan peduli.

Belum sampai beberapa detik aku berhenti menangis, si Bulan datang. Membuat aku kembali nangis lagi. Cewek itu berlari dengan wajah khawatir, dia langsung menghampiriku dan menatapku dengan tatapan kasihan.

“Aku tau dari anak-anak yang ngeliat kamu lari-lari sambil nangis,” kata Bulan tanpaku tanya, “Aku tanya kamu sekarang. Diapain sama Gildan?” tanya Bulan tegas.

Aku tidak menjawab. Aku lansung memeluk Bulan sambil nangis kejer. Memeluk erat tubuh Bulan yang masih berdiam diri di tempat. “Gildan berubah, dia bukan Gildan yang sayang aku lagi,” aduku masih nangis.

“Tenang, Dis. Kita hajar dia sekarang,” balas Bulan langsung memutuskan.

“Enggak, Lan. Nanti kamu di bogem sama dia,” tolakku tidak setuju.

“Kalo nggak mau aku hajar dia, kamu diem. Nggak usah nangisin cowok kaya gitu, nggak guna!” Bulan emosi. Tanganya mulai mengusap-usap pundakku prihatin.

“Dulu juga kamu nangisin Bintang, Lan. Dulu malah Bintang lebih brengsek.”

“DIEM. Nggak usah inget masalalu,” ujarnya tidak terima.

Aku masih nangis, memeluk Bulan sangat erat.

“Woi longgarin dikit, nafasku sesak, Dis. Takut tiba-tiba punya serangan asma,” omel Bulan sambil dorong-dorong badanku, berusaha melonggorkan pelukanku.

Posesif Gildan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang