5. Benang merah takdir

8.8K 334 9
                                    

Pub awal: 30 Oktober 2021
Revisi: 10 Januari 2022

-Revisi tanda baca. Alur gak ada yang berubah-

Ini adalah hari minggu, hari dimana abangku akan menyiksaku hidup-hidup. Bukan menyiksaku dengan gagang sapu atau gagang pelan, tidak, itu terlalu kejam untuk orang cantik sepertiku. Tapi menyiksa dengan memaksaku lari pagi dari ujung komplek ke ujung komplek lagi.

Harusnya pagi-pagi kaya gini aku masih tidur diatas kasur empuk kesayangan. Tapi karena bang Rigel yang gak tau diri ini, hancurlah sudah niatku mau tidur seharian. Padahal rebahan is my life.

Bang Rigel lari dengan semangat empat lima. Sedangkan aku lari seadanya dan sebisanya, alias malas-malasan.

"Ayo cepetan dikit Disa," begitu teriak bang Rigel. Si tuir alias si tua dari goa hantu itu lari di depanku tanpa mikir aku udah selelah apa.

"Sabar bang. Aku capek lari dari tadi. Mending lari dari kenyataan dah," komentarku sambil ngos-ngosan.

"Cemen amat lo. Baru dikit ini. Perjalanan masih panjang," sahutnya, lalu berlari ninggain aku lagi.

Ingin rasanya aku pites kepala bang Rigel. Untung abang. Untung sayang. Coba kalo nggam? Ya gak aku apa-apain juga sih. Bisa mati aku diceramahi oleh Bunda seharian.

"Woi kunyuk, tunguin!"

Aku berlari mengejar bang Rigel yang mulai hilang dari pandanganku.

Hampir satu jam aku menyelusuri komplek. Udah hampir patah tulang-tulang kaki ku. Tapi bang Rigel masih berlari-larian seperti orang yang tidak punya rasa lelah. Ini aku yang lemah atau bang Rigel yang samson?

"Bang, udah dulu dong. Gak capek apa?" tanyaku heran.

"Bentar lagi. Belum kebakar ni lemak," sahutnya masih melanjutkan lari-larinya itu.

"Bakar lemak kok lari. Ya dikomporlah," celetukku agak kesal. Dia yang bakar lemak aku yanh hampir pingsan.

Aku berniat masuk ke dalam rumah. Udah lelah. Mau istirahat aja. Namun bang Rigel kembali menahanku.

"Mau kemana lo?"  tanya bang Rigel.

"Masuk lah. Mau makan. Laper," Aku memegang perut dengan tampang melas.

"Baru bakar lemak. Udah mau makan aja. Gimana mau langsing lo," teriak bang Rigel yang menurutku itu adalah sebuah penghinaan.

"Gak perduli. Kata Bunda kalo mau makan tinggal makan. Gak usah mikirin berat badan. Ribet!" teriakku menyahuti, lalu masuk ke dalam rumah dan bersiap untuk mandi.

Setelah mandi aku kembali turun ke bawah. Jam menunjukan sudah pukul 10 pagi. Mataku tertuju pada meja makan yang sudah di isi oleh banyak lauk-lauk yang enak. Tapi ada satu yang merusak selera makan. Yaitu bang Rigel!

"Ngapain di situ? Katanya abis bakar lemak. Kok malah nambah lemak lagi?" Aku  nyindir keras.

"Suka suka gue lah," sahutnya tanpa dosa.

"Katanya mau langsing. Percuma dong bakar lemak dari pagi pagi buta sampe siang," Aku duduk dengan kesal. Merasa sia sia saja keringatku tadi.

"Kata Bunda, kalo mau makan tinggal makan. Gak usah mikirin berat bedan. Ribet," sahutnya meniru ucapanku tadi.

Aku memutar bola mata malas. Gak ada faedahnya aku berargumen dengan manusia tengil ini.

"Jadi gimana?" ujar bang Rigel membuat mengerutkan dahi.

"Gimana sama pacar lo," ujarnya lagi.

Anjir. Apaan nih?

"Pacar? Mana ada. Aku itu jomblo. Mana ada pacar," sanggahku sok polos.

Posesif Gildan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang