35. Penyesalan Dan Pergi?

4.3K 159 18
                                    

Vote dan komen.

35.  Penyesalan Dan Pergi?

"Keluar lo dari sini. Gue peringatin lo jangan pernah temuin adik gue lagi."

Suara Bang Rigel terdengar ditelingaku. Perlahan aku membuka mata, dan satu-satunya pandangan yang ku lihat adalah langit-langit rumah sakit yang berwarna putih. Aku mengingat sesuatu. Tadi aku pingsan saat diperjalanan menuju rumah sakit. Sejujurnya, aku takut melihat darah. Mungkin kalau darahnya sedikit aku masih bisa melihatnya, tapi jika darahnya sebanyak darah yang bercucuran dilenganku, jelas aku akan pingsan.

"Bang, gue mohon. Gue pengen liat Disa dulu. Sebentar aja."

Dari suaranya aku bisa tahu, bahwa itu Gildan. Pandanganku langsung mengarah ke cowok itu. Mataku langsung mendapatkan Gildan yang sedang ditarik paksa oleh Bang Rigel. Bang Rigel ingin mengusir Gildan.

"Gildan," lirihku memanggil nya. Membuat Bang Rigel berhenti menarik Gildan untuk keluar.

Gildan menghampiriku dengan wajah paniknya. Cowok itu langsung menanyakan keadaanku.

"Kamu gapapa, Sa? Masih sakit? Atau pusing? Bilang, Sa. Bilang sama aku apa yang kamu rasain?" tanya Gildan dengan segala kekhawatirannya.

"Gak usah sok romantis lo. Ini bukan drama korea atau drama percintaan anak muda. Lo itu udah bikin adik gue kenapa-kenapa," ujar Bang Rigel. Abangku itu memang pemarah jika ada seseorang yang mencelakaiku. Namun dia hanya salah paham soal ini. Mungkin, dia mengira Gildan adalah penyebab aku berada dirumah sakit sekarang.

"Bang, ini bukan salah Gil-"

"Gak usah lo ngebela orang yang udah bikin lo berakhir dirumah sakit Disa," potong Bang Rigel marah.

Kali ini dia tidak main-main. Dia tidak pernah bermain-main jika itu soal keselamatanku, "sekarang lo suruh dia pergi atau lo gak akan pernah ketemu dia lagi selamanya," tegas Bang Rigel serius.

"Ma-maksudnya?" tanyaku nggak paham.

Bang Rigel hanya salah paham, lagi pula aku tidak kenapa-kenapa. Tidak ada yang terluka parah, aku pingsan hanya karena takut melihat darahku sendiri.

Bang Rigel menaruh kedua tangannya disaku celana, lalu menatap Gildan lekat. "Bunda sama Ayah bakal sampai beberapa menit lagi. Kalo mereka ngeliat orang yang udah bikin lo kaya gini, mereka pasti nggak akan pernah ngizinin lo berdua buat ketemu lagi."

Aku dan Gildan sama-sama terkejut mendengarnya. Aku menggeleng kuat pada Gildan. Aku tidak ingin dia pergi dari sini. Aku ingin dia bersamaku sekarang.

Aku menelan salivaku saat Gildan berdiri. Cowok itu menatap Bang Rigel, kemudian beralih menatapku. Aku tahu apa yang ingin Gildan lakukan. Dia ingin pergi, dia mendengar ucapan Bang Rigel.

"Nggak Gildan. Aku mau kamu tetap di sini. Sama aku," pintaku saat Gildan sudah ingin beranjak.

"Aku gak bisa kalo gak akan ketemu kamu buat selamanya, Sa. Bener kata Bang Rigel, orangtua kamu pasti marah banget kalau liat aku ada disini," ujar Gildan datar. Namun aku tahu, dari caranya menatap dan berbicara padaku, sebanarnya Gildan juga tidak ingin pergi dari sini. Tapi dia juga tidak mau kalau sampai harus menghilang dariku untuk selamanya.

Aku menggeleng kuat. Aku tidak ingin Gildan pergi, "Nggak Gildan. Jangan pergi," cegahku memohon.

Namun Gildan tidak mendengarkan. Cowok itu malah mengambil jaketnya yang sudah terkena noda bekas darahku disana.

"Gildan, jangan tinggalin aku Dan," pintaku memohon.

"Gildan." Suaraku mulai memelan. Tapi Gildan sama sekali tidak mendengarkan. Bahkan dia tidak mau mengucapkan satu kalimatpun untuk berpamitan.

Posesif Gildan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang