42. Rumah Duka

4K 162 18
                                    

HAI! JANGAN LUPA VOTE! HAPPY READING❤

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


HAI! JANGAN LUPA VOTE!
HAPPY READING❤


42. Rumah Duka

Menunggu seseorang yang kamu sukai menjawab pernyataan suka darimu adalah hal yang paling menegangkan.

Apalagi hanya ada dua jawaban yang menjadi pilihan dari pertanyaan yang kamu ajukan untuknya. Pilihannya hanya iya atau tidak. Iya artinya dia menerimamu, tidak artinya dia menolakmu.

Dan aku tidak ingin mendapat pilihan kedua. Aku ingin dia menjawab IYA. Bukan TIDAK.

Aku duduk dikursi panjang yang ada di sini, taman belakang sekolah. Tempat di mana aku akan mendapat jawaban dari Gildan.

Bel pulang sudah berbunyi 20 menit lalu. Namun Gildan belum juga datang untuk memberi jawaban. Aku masih mencoba berfikir positif, mungkin Gildan masih memikirkan jawaban yang tepat. Ya, itulah yang coba aku pikirkan tentangnya.

Beberapa detik kemudian aku membuka tasku dan mengambil headset yang memang selalu ku bawa di dalam tas. Lalu memutarkan lagu "Apalah (Arti menunggu)" dari Raisa. Menikmati setiap nada dan setiap bait liriknya. Sangat menggambar keadaanku sekarang.

Hampir 1 jam aku berada disini. Sudah begitu banyak lagu yang kuputar, sampai-sampai batrai hapeku habis. Langit pun sudah mulai gelap. Namun Gildan belum juga datang. Haruskah aku menunggunya lebih lama? Atau dia memang tidak ingin bersama lagi?

Sekali lagi aku melirik jam di tangan. Jarum jam menunjukan pukul 19.00. Sudah sangat lama aku disini. Sendirian di tempat sepi, bahkan lampu-lampu sekolah pun mulai mati. Namun aku tetap menunggunya. Menunggu Gildan dan menunggu jawaban kepastian darinya.

"Neng? Kok nggak pulang? Ngapain masih di sekolah jam segini? Bapak aja bentar lagi pulang. Ayuk buruan pulang! Nanti bapak kunciin mau?" teriak pak satpam dari jauh. Pak satpam itu langsung kabur setelah memberikan pesan. Mungkin takut kalau aku adalah hantu penunggu sekolah, makannya dia kabur.

Aku menghela nafas panjang. Menunggu Gildan selama ini apakah hal yang wajar? Aku rasa ini sudah terlalu lama untuk sekedar menunggu jawaban "iya" atau "tidak" darinya.

Setetes air mulai turun dari atas sana. Gemuruh petir mulai terdengar, membuatku ketakutan setengah mati. Aku mulai kedinginan, rasa takut pun mulai sepenuhnya menyelimuti. Dengan serentak hujan turun, membasahi seluruh badanku hanya dalam hitungan detik. Hujan turun bersamaan dengan air mata yang mulai menetes dipipiku. Menangis dalam kerumunan hujan adalah satu-satunya cara untuk mengungkapkan kesedihanku saat ini.

Jika dia tidak mau menerimaku setidaknya dia mengatakannya,'kan? Bukannya membiarkanku menunggu selama ini.

"Sesulit itu kah untuk kamu temuin aku disini Gildan? Sampai kamu tega ngebiarin aku disini kaya orang bodoh?" tanyaku pedih.

Suara tangisku tertutupi oleh suara hujan dan gemuruh petir yang begitu menggelegar. Aku duduk dengan kedua tangan yang memeluk badan.  Aku menjerit dengan keras. Meluapkan rasa sedih dan marah yang saling bercampur menjadi satu.

Posesif Gildan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang