1. Memang cinta bisa dipaksa?

26.3K 688 42
                                    

-Revisi tanda baca dan sedikit ganti kata kata ada kok. Alur gak ada yang diubah-

Selamat membaca

Kata orang Aku cewek paling beruntung karena bisa disukai sama cowok seperti Gildan. Aku tidam tau gimana cara berfikir mereka sampai bisa mengatakan kalau aku adalah cewe beruntung. Jika dilihat dari mata, ya, memang Gildan itu ganteng, punya muka good loking bahkan mungkin banyak cewek-cewek Sma Angkasa yang naksir dia diam-diam. Tapi jika dilihat dari sikap dan perilakunya, kayanya tidak masuk kriteria cowok idaman deh.

Seperti sekarang, cowok itu sudah sama persis seperti stalker atau penguntit. Gildan mengikutiku dari gerbang sekolah sampai aku sudah hampir sampai ke kelas. Entah dia terlalu bucin atau memang tidak ada kerjaan.

"Kamu bisa pergi gak?" Aku berhenti. Menoleh padanga sebab sudah merasa tidak nyaman.

"Gak." Jawabnya singkat.

"Aku risih, Gildan. Sana pergi. Kaya gak ada kerjaan aja ikutin orang," cetusku tidak peduli jika itu menyakiti perasaannya.

"Ikutin kamu juga kerjaan penting," kata Gildan dengan nada datar.

"Kamu diem aja deh. Gak ada faedahnya kamu ngomong," Aku rasa lebih baik si Gildan ini tidak bicara ketibang dia bicara tapi ngaur.

Setelah itu Aku kembali berjalan tanpa menghiraukan si oon Gildan.

Hampir satu langkah lagi aku berada di dalam kelas, namun Gildan malah menarikku. Sungguh itu membuatku jengkel!

"Apa lagi, sih?" kali ini aku beneran kesal.

"Gue cuma anter. Takut lo kenapa-kenapa," katanya membuat aku sedikit merasa bersalah.

"Aku udah besar. Gak akan terjadi apa-apa. Jarak antara gerbang sampai ke kelas aku itu deket. Jadi gak usah lebay," jelasku tidak suka diikuti.

"Apapun bisa terjadi sama lo, Dis," ujar Gildan.

"Apa sih. Gak jelas. Terlalu jauh pemikiran nya. Bye!" balasku lalu masuk ke dalam kelas.

Mungkin benar. Nasib baikku benar-benar sudah tergantikan dengan nasib buruk atau bahkan sial. Setelah kejadian dilapangan beberapa hari lalu, Gildan selalu membuat hari-hariku menjadi buruk. Selalu mengikuti aku ke kantin, perpus, kelas, bahkan ke toilet. Cowok itu mengantarku sampai depan pembatas antara toilet laki-laki dan perempuan. Udah gila gak tuh?

"Ceria amat tuh muka. Abis ketemu Gildan yaaa," goda Bulan dari tempat duduknya.

"Ciiih. Aku ceria justru karena dia udah gak ada. Bebas hidupku, Lan. Bisa hahahihi," Aku duduk dikursiku, tepatnya disamping Bulan.

"Gak boleh gitu, awas karma. Hukum karma itu nyata, Dis," ujar Bulan.

"Jangan bawa-bawa karma lah. Gak asik amat, Lan," komenku, sejujurnya aku takut dengan kata kata itu.

"Fakta kali," balas Bulan.

Jujur saja jika mendengar kata karma aku selalu takut. Karma itu memang benar-benar ada. Pasalnya, dulu sekali aku pernah berkata bahwa aku tidak mau memiliki Bunda seperti Bundaku yang sekarang. Dulu aku tidak suka waktu awal-awal ayah berpacaran dengan Bunda, tapi lama kelamaan entah mengapa aku jadi suka banget sama Bundaku itu. Mungkin itu yang dinamakan karma. Apalagi yang namanya benci jadi cinta. Itu benar-benar ada didunia nyata.

Kali ini aku membuat janji kepada diriku sendiri. Aku janji untuk tidak jatuh hati kepada Gildan. Karena aku takut kalau ternyata cowok itu hanya sedang bermain-main dengan perasaanku. Lagian memang kenyataan aku gak akan jatuh hati sama Gildan, 'kan?

Posesif Gildan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang