Perlahan-lahan kesadaran Yasinta mulai memulih, ia mengedipkan mata beberapa kali untuk mengoptimalkan cahaya yang masuk. Kepala Yasinta terasa berdenyut sakit seakan-akan habis ditimpa benda berat, entah karena efek hujan-hujanan atau pikiran Yasinta sedang sangat kacau belakangan ini karena memikirkan orang yang telah tiada.
baju kaos kebesaran yang dikenakan Yasinta sebelumnya, kini telah terganti dengan piama berwarna merah tanpa motif.
Setelah berdiam diri sejenak, bibir Yasinta tertarik ke atas tersenyum lebar. Kejadian beberapa jam lalu di pemakaman umum, kembali terlintas dalam ingatan Yasinta.
"Geri," gumam Yasinta sangat pelan.
Tangan Yasinta bertumpu pada kasur untuk membantu mengangkat tubuhnya sendiri. Kaki jenjang yang dilapisi celana tidur berbahan katun panjang menyentuh lantai menuju pintu kamar yang masih tertutup rapat tanpa dikunci.
Yasinta berjalan terburu-buru melewati setiap anak tangga, menghiraukan pusing yang mendera dan tanpa takut terpeleset. Yasinta terlalu antusias, hingga binar di wajah pucatnya tidak juga pudar.
Mata Yasinta menangkap kedua orang tuanya yang sedang duduk di sofa merah ruang tamu, kemudian berjalan menghampiri mereka. "Papa, Mama," panggil Yasinta.
Nike dan Danu menoleh ke arah anak semata wayangnya. Tampak wajah mereka berdua menghela nafas lega. Sudah setengah jam Yasinta tidak sadarkan diri setelah pulang dengan baju basah kuyub. Pertama kali melihatnya Nike langsung syok.
"Syukurlah, kamu sudah bangun," ujar Danu menghampiri Yasinta dan menuntun untuk duduk di sofa sebelahnya.
"Geri," ucap Yasinta tersenyum lebar. "Geri masih hidup."
Ucapan Yasinta mampu mengubah raut wajah Nike dan Danu menjadi sedih. Orang tua mana yang mau anaknya berlarut dalam kesedihan? Jikapun ada, itu patut dipertanyakan. Nike dan Danu menyimpan kepedihan saat melihat Yasinta tidak bisa melupakan Geri, kekasihnya yang telah tiada.
"Sayang, kamu ikhlasin Geri, ya. Biarin dia tenang di sana," kata Nike lembut.
"Kamu jangan menyiksa Geri, kasian dia. Kalau kamu masih memikirkan Geri, nanti Geri gak tenang di sana gimana? Yasinta anak Papa 'kan? Jadi dengerin kata Papa dan Mama ya." Danu mengusap rambut Yasinta penuh kasih sayang.
Yasinta menggeleng lemah, Yasinta sangat yakin jika ia tidak salah lihat. Di pemakaman tadi, itu benar-benar Geri, Yasinta masih hafal secara rinci bagaimana sosok Geri sebenarnya. Ia masih waras untuk mengetahui mana yang fakta dan mana yang halusinasi.
"Tadi yang nganterin Yasinta pulang Geri 'kan Ma, Pa? Yasinta gak bohong sebelum pingsan Geri ada tepat di depan Yasinta."
Nike dan Danu saling berpandangan, raut wajah keduanya sangat khawatir akan kondisi Yasinta. Sangat-sangat tidak mungkin orang yang telah tiada bisa kembali lagi, logisnya seperti itu jika dipikirkan.
"Alfian yang mengantar kamu pulang, Yasinta." Nike menghela nafas lalu menelan salivanya.
"Iya, gue yang nganterin lo pulang," tambah Alfian.
Yasinta seketika menoleh ke sumber suara. Sejak kapan Alfian berada di sana? Bahkan Yasinta sendiri baru sadar jika ada Alfian di rumahnya. Lelaki itu, duduk dengan ekspresi tak terbaca, memandang Yasinta dalam diam dengan jemari yang saling bertautan di antara kedua kaki yang bertumpu di lantai.
Nafas Yasinta tercekat, ia masih waras untuk membedakan antara Alfian dan Geri. Jika benar Alfian yang mengantarnya pulang, itu artinya Geri meninggalkan Yasinta tanpa membantunya?
"Bohong." Yasinta berdiri di tempat. "Yasinta melihat dengan mata kepala Yasinta sendiri kalau tadi benar-benar Geri. Geri memanggil nama Yasinta. Yasinta gak mungkin salah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Yasinta 2 (Dia kembali?)
Teen Fiction⚠️PRIVATE ACAK FOLLOW SEBELUM MEMBACA⚠️ Ini squel dari Yasinta. Jadi, sebelum baca yang ini, baca cerita Yasinta dulu ya. Harus senang atau sedih? Yasinta masih bimbang untuk memilih salah satunya. Dia kembali atau hanya rupanya saja yang sama? Yang...