Sedih, marah, putus asa, kesal, dan benci bercampur menjadi satu. Geri Geraldi menyesal karena telah bertindak bodoh dulu, memilih untuk pergi sejenak dari pandangan orang-orang, dan mengambil jalan yang membuat orang lain berpikir bahwa dirinya telah tiada. Geri Geraldi marah akan suatu hal, marah karena menjadi alat tanpa bisa melawan, menjadi seorang tidak pada pendirian sehingga menyakiti orang di sekitarnya.
Geri merasa sendiri walau tau banyak yang mengkhawatirkan dirinya, merasa payah meski teman dan saudara ikut andil membantu, dan merasa bersalah pada sang Papa karena tidak berhasil menepati janji untuk menjaga Mamanya.
Dunia Geri seakan runtuh, ia kini hanya bisa memeluk dirinya sendiri, membenamkan wajah diantara kedua lutut yang menekuk. Sudah satu jam Geri seperti itu, punggung rapuh itu hanya bergetar karena menangis dalam diam.
"Ger," panggil seseorang membuka pintu kamar, terdengar hembusan nafas berat melihat Geri yang terpuruk seperti itu di atas tempat tidur.
"Bahkan jika Papa lo di sini dia pasti bangga mempunyai anak seperti lo." Tangan itu mengusap punggung Geri.
"Lo tau gak, gak semua orang bisa seperti lo, pekerja keras, pantang menyerah, dan bertahan melewati semua rintangan hidup." Dandi memberi jeda pada ucapannya. "Seandainya gue ada di posisi lo mungkin gue gak akan bisa bertahan sampai detik ini."
"Gimana rasanya menjadi seorang yang memberi semangat? Menjadi penenang walau tau gue payah?" Geri mendongakkan wajahnya menatap Dandi. "lo tau gak? Mau berpuluh-puluh kali lo lo bilang gue kuat, tapi nyatanya di sini." Geri menepuk dadanya. "Rasa sakitnya tidak bisa hilang."
Geri meremas baju tepat dibagian dada, matanya memerah karena menangis terlalu lama. Lucu sekali hidupnya, Geri hanya bisa menangis tanpa tau dimana Mamanya dimakamkan.
"Lo hanya perlu terbiasa."
"Terbiasa apa?" potong Geri cepat. "Lo bayangkan dari kecil hingga sekarang hidup gue gak ada bedanya, sama-sama menyedihkan."
"Lo hanya perlu terbiasa dengan waktu sampai rasa sakit lo sembuh, sampai lo bisa mengikhlaskan semuanya. Ger, semua ini sudah takdir, jangan salahkan diri lo karena kepergian Tante Elsa," ujar Dandi.
Waktu bisa menyembuhkan luka? Bullshit. Omong kosong yang tidak mendasar. Jelas Geri sangat tau jika kejadian pahit dalam hidup seseorang tidak bisa hilang begitu saja walau sejauh waktu berjalan, itu sebabnya mengapa beberapa dari kebanyakan orang sampai menimbulkan trauma, karena terus terbayang-bayang dengan kejadian buruk yang pernah dialami.
Waktu tidak akan pernah bisa menyembuhkan luka, tetapi luka bisa ditutupi dengan kepiawaian diri menerima kenyataan. Namun, sayangnya Geri belum bisa menerima kenyataan.
Geri belum bisa menerima kenyataan atas apa yang terjadi pada hidupnya. Mamanya meninggal dan hidupnya terasa tidak berguna, bagaimana tidak jika dirinyalah penyebab dari kekacauan ini. Menyedihkan bukan?
"Gue lagi ingin sendiri," ujar Geri mengusir Dandi.
"Lo gak bisa terus-terusan begini, lo harus ikut gue, kita cari alasan dari masalah ini."
"Gue lelah," tolak Geri.
"Kita cari makam Mama lo."
"Kekek sedang mencarinya," jawab Geri.
Dandi menarik kerah baju Geri dan mendekatkan wajahnya. "Setidaknya jangan jadi kucing penakut sampai akhir."
"Lo dulu melakukan ini karena diancam atas Mama lo 'kan? Sekarang lo bisa melakukan apapun tanpa ancaman, lo gak bisa membiarkan mereka bahagia, sedangkan lo?" Dandi mencoba mendokrin Geri supaya tidak terus-terusan berada di kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yasinta 2 (Dia kembali?)
Teen Fiction⚠️PRIVATE ACAK FOLLOW SEBELUM MEMBACA⚠️ Ini squel dari Yasinta. Jadi, sebelum baca yang ini, baca cerita Yasinta dulu ya. Harus senang atau sedih? Yasinta masih bimbang untuk memilih salah satunya. Dia kembali atau hanya rupanya saja yang sama? Yang...