Part 19

1.9K 256 11
                                    

Ini cerita emang agak berat, ada teka-teki yang bikin pusing, emang rada ngebingungin di awal tapi nanti bakal terungkap kok semua teka-tekinya

***

Dalam hal gegabah sepertinya Alfian harus menghilangkan sifat itu. Mengambil keputusan terburu-buru merupakan awal bencana sekaligus memalukan untuk Alfian. Andai saja Alfian tidak langsung menyalahi dan memukuli Dandi tanpa tau kebenaran pasti Alfian tidak akan merasa malu seperti sekarang ini, karena Dandi yang menyelamatkan sekaligus menunggu Alfian di Rumah Sakit. Andai saja Alfian tidak terburu-buru mendatangi Geri disaat sepupunya itu menyuruh untuk datang, Alfian mungkin tidak akan meringkuk di atas brankar Rumah Sakit dengan banyak luka di sekujur tubuhnya.

Alfian tidak berani bercermin saat pipinya dibalut kain kasa pada bagian luka. Mengingat bagaimana benda pipih dan tajam menyentuh permukaan kulit, membuat Alfian meringis membayangkan apa yang sudah terjadi.

Ucapan terima kasih mungkin tak cukup untuk membayar kebaikan Dandi. Dari segi pandang setelah berbagai masalah yang Alfian lalui, Dandi mungkin banyak diam namun cepat dalam bertindak. Terbukti dari segala tuduhan Geri terhadapnya, tapi Dandi hanya mengikuti alur permainan yang diciptakan Geri tanpa membantah dan membiarkan dirinya dicap buruk. Tapi, dibalik itu semua ternyata Dandi masih mau menolong Alfian dan Geri.

"Kenapa lo bisa ada di sana? Lo diculik?" tanya Dandi tidak yakin dengan pertanyaannya sendiri.

"Gue datang sendiri ke sana," jawab Alfian singkat.

Dandi menggeram mendengar jawaban Alfian. Dandi tidak menyangka jika Alfian menyerahkan dirinya sendiri dalam bahaya. "Bego," umpat Dandi.

"Oh ya? Gue kelas sebelas kepilih sebagai ketua OSIS lho, seenggaknya ketua OSIS harus tanggap dan pintar. Terus lo lupa gue peringkat berapa?" Alfian menyengir menunjukkan deretan giginya.

"Tindakan lo. Dalam akademik lo memang pintar, tapi sikap tanpa pikir panjang lo yang nurunin tanggapan orang kalau lo bodoh. Ingat Al, akademik bukan segalanya." Dandi mendengus karena jawaban Alfian sangat menjengkelkan.

"Serius banget sih, lagian gue cuma becanda." Alfian mendengus di tempat. Dari posisinya sekarang Alfian bisa melihat bagaimana wajah bete Dandi.

Sejenak tidak ada obrolan diantara mereka, Alfian memilih untuk menatap ke arah jendela mengalihkan pandangan dari Dandi. Matanya bergerak melihat daunan bergoyang akibat hembusan angin dari balik jendela kaca yang tertutup, andai saja Alfian sedang tak malas bergerak maka ia akan membuka jendala itu selebar mungkin. Tapi, sayangnya Alfian malas turun dari tidurnya, ingin menyuruh Dandi sepertinya tidak mungkin.

Dandi memperhatikan Alfian sedetail mungkin, melihat banyak goresan di lengan dan pergelangan tangan yang memerah, sudut bibir terluka, pipi yang diperban, lalu senyum yang sedikit dipaksakan semenjak tadi.

"Al, siapa mereka?" Dandi menatap Alfian serius.

"Siapa apanya?" Alfian memandang Dandi sekilas.

"Mereka yang membuat lo seperti ini," ujar Dandi.

Alfian menggeleng. "Mata gue ditutup Dandi, gue mana tau siapa mereka," bohong Alfian.

"Jangan mencoba menyembunyikannya dari gue." Dandi berucap dingin.

"Serius, gue gak tau."

Dandi menggut-manggut sembari mengeluarkan ponsel dari saku seragam sekolahnya. Semenjak mendapat kabar bahwa Alfian dalam bahaya hingga sekarang tepat pukul tujuh malam Dandi belum pulang ke rumah untuk mengganti pakaian. Ketika Alfian memintanya untuk tidak memberitahu siapapun tentang kejadian buruk yang menimpa lelaki itu, Dandi terus berada di sebelah Alfian untuk menemaninya.

Yasinta 2 (Dia kembali?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang