Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam lamanya, Geri akhirnya sampai sesuai alamat yang diberikan Eriska. Tangannya memerah karena terlalu kuat mencengkram stir mobil. Sebentar lagi, Geri akan melepas rindu kepada Ibunya, tidak lama lagi Geri akan merasakan pelukan hangat yang sudah lama tidak ia rasakan, dan sehabis ini Geri tidak perlu mengikuti kemauan Anggun untuk balas dendam.
Namun, semua itu sepertinya harus pupus, pandangan Geri bergerak gusar melihat sekeliling yang ada hanya bangunan tua bekas pabrik tanpa ada rumah di sekitarnya.
Geri berlari menuju bangunan usang yang sudah lama tak terpakai. Nafasnya tercekat saat melihat isi dalam bangunan itu. Kosong, tidak ada apapun di sana selain sawang dan debu menumpuk dimana-mana.
"Mama dimana?" lirih Geri menyangga pada pintu untuk menopang tubuhnya yang hampir limbun.
"Ma, Geri masih hidup, aku di sini."
Setelah diberi harapan yang mampu mewujudkan ekspetasi selama ini, Geri dijatuhkan dengan kebohongan. Geri menunduk dengan postur tubuh agak membungkuk, seluruh kesenangan tadi seketika runtuh oleh kenyataan.
"Geri rindu, Mama." Geri memejamkan mata menyebabkan air mata luruh ke pipi.
"Eriska!" Geri menggeram tertahan, ketika membuka mata, sorot matanya melotot tajam dengan rahang menggeletuk. Padahal Geri sudah menaruh harap pada Eriska, Geri kira gadis itu tulus menolongnya.
Dering ponsel berdering mengalihkan fokus Geri. Ponsel di dalam saku celana itu terus berbunyi. Geri buru-buru mengambil ponselnya, di layar menampilkan nama pemanggil, yaitu 'gila'.
"Halo," sapa Geri was-was.
"Lo mengkhianati gue, lo akan mendapatkan akibatnya. Sepupu lo akan membayarnya."
Panggilan telepon diputuskan secara sepihak. Geri menatap layar ponsel dengan tanya. "Siapa?"
"Putri?" gumam Geri masih berpikir.
Lima detik kemudian mata Geri terbuka lebar. Cepat-cepat Geri berlari dimana tepat mobilnya terparkir. Wajah lesu itu terlihat pucat pasi ketika mengingat jika tadi pagi ia meninggalkan Alfian dalam kondisi terikat di rumah, itu artinya Alfian dalam bahaya. Pikiran Geri kalut, ia mengendara mobil dalam kecepatan penuh. Jarak tempuh dari tempatnya ke rumah memakan waktu lumayan lama, itu merupakan hantaman terbesar untuk Geri. Jika Alfian terluka, jelas itu salahnya.
••
Mungkin ini adalah hari keberuntungan untuk Dimas, setelah berhasil mengalahkan SMA Bina Mulya yang membuatnya bangga pada timnya dan dirinya sendiri, tiba-tiba ada yang mengajaknya berkenalan setelah pertandingan usai.
Dimas memuji dirinya sendiri dalam hati, ia berasumsi bahwa dirinya sangat mempesona sehingga dapat menggait gadis dari sekolah tim lawan. Dan disinilah ia berada, duduk di kantin bersama orang yang mengajaknya berkenalan.
Es teh dan gorengan tersaji di atas meja, mereka berdua tidak luput saling melempar senyum canggung. Apalagi Dimas, terkadang tertawa tidak jelas.
"Selamat ya, tim lo menang."
"Makasih. Berkat seseorang," jawab Dimas sembari menyeruput es teh yang sudah lama ia anggurkan.
"Siapa? Pasti dia hebat banget ya main basketnya?" tanya Putri penasaran.
"Menurut gue dia hebat."
Berbicara siapa yang membuat Dimas semakin semangat untuk menang, apalagi dijanjikan hadiah. Dimas terkadang melirik keadaan di sekitarnya, mencari seseorang yang sejak awal pertandingan sampai usai tak terlihat wajahnya. Dimas kesal sekaligus sedih karena Geri tidak menonton ia bertanding dan menyaksikan kemenangan SMA Nusantara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yasinta 2 (Dia kembali?)
Teen Fiction⚠️PRIVATE ACAK FOLLOW SEBELUM MEMBACA⚠️ Ini squel dari Yasinta. Jadi, sebelum baca yang ini, baca cerita Yasinta dulu ya. Harus senang atau sedih? Yasinta masih bimbang untuk memilih salah satunya. Dia kembali atau hanya rupanya saja yang sama? Yang...