Prolog

12.5K 781 52
                                        

Detak jarum jam yang memenuhi ruangan sunyi ini benar-benar menambah kerisauan seorang gadis yang tengah duduk bersama segelas lemon tea yang sudah disedot habis tiga perempat gelas. Gadis itu mendesah berat untuk yang ketiga kalinya dalam 2 menit ini, menunggu kedatangan sosok yang ia bahkan belum pernah tau seperti apa rupanya.

Ia merasa sial karena kalah taruhan bersama teman-temannya yang lain, Limar, Nadindra, juga Abinaya. Mungkin keberuntungannya sudah habis hari itu, hingga ia tiga kali mengeluarkan kertas yang habis dilahap oleh gunting yang dikeluarkan dua sahabatnya yang lain. Sial, sial!

Nirbana tidak bisa menunggu lebih lama. Ia sudah bersiap, kalau satu menit lagi manusia itu tidak muncul, ia akan meninggalkan café berlatar vintage yang sebenarnya nyaman untuk dijadikan tempat ngetem saat mengerjakan tugas. Tidak heran, kalau waktu pulang sekolah, café yang berjarak tidak jauh dari SMA tempatnya mengajar ini tidak pernah surut dari pengunjung dengan berbagai kalangan usia.

Satu menit tepat.

Nirbana mengangkat bokongnya dari kursi tinggi yang ada didekat meja bar. Ia tersenyum pada barista yang dari tadi menunggunya, yang mungkin secara tidak sengaja sudah membaca suasana hatinya yang benar-benar rusak! Ya. Hanya karena manusia tidak berperasaan yang seenaknya saja mengabaikan janji ketemu mereka padahal Nirbana sudah menunggu selama lebih dari 20 menit!

Nirbana tersenyum ramah pada barista laki-laki yang terlihat berumur tak jauh beda dengan adik laki-lakinya paling kecil, sepertinya anak ini mahasiswa yang sengaja bekerja part-time disini. Nirbana menghampiri barista itu.

"Maaf, apakah saya bisa menitipkan barang disini?" tanya Nirbana sopan kepada barista tak lupa dengan imbuhan senyuman manisnya.

Barista itu tampak berpikir, tak kunjung menjawab pertanyaannya.

"Eum, saya janjian bertemu dengan orang, seharusnya 25 menit yang lalu. Tapi sepertinya dia tipe orang yang tidak sopan dan minim tanggungjawab." Dengus Nirbana berusaha untuk meredam rasa kesalnya.

Barista itu tersenyum kikuk lalu mengangguk. Bagus, kalau begini ia tidak perlu repot lagi mengantarkan pakaian pada laki-laki menyebalkan itu--yang tidak sopan padanya.

"Apa anda bisa meninggalkan nomor yang dapat dihubungi kalau terjadi apa-apa?" tanya Barista itu selagi menerima uluran tas kertas dari Nirbana.

Nirbana menjentikkan jarinya. Ia segera mengeluarkan sticky note dari dalam tasnya, kemudian mengeluarkan pulpen yang selalu tersedia disana. Nirbana menuliskan beberapa kalimat juga nomornya pada kertas kecil berwarna hijau toska itu. Ia mengulurkannya pada si barista.

"Jangan khawatir, tidak ada barang berharga didalamnya. Hanya pakaian, kostum." kata Nirbana menenangkan barista yang sepertinya takut jika nanti akan dimintai pertanggungjawaban kalau ada apa-apa dengan barang titipannya.

"Kalau saja saya tidak mengajar, saya akan menunggunya. Tapi dia ini tidak sopan! Saya sudah menghabiskan waktu makan siang saya yang berharga, tapi dia belum juga muncul." Gerutunya pada sang Barista yang tersenyum memaklumi.

"Terimakasih, banyak, ya. Kamu penolongku hari ini." pamit Nirbana sebelum meninggalkan barista dan café yang rupanya bernama LaLuna ini.

Baru melangkahkan kaki keluar tiba-tiba dengan tidak sopan seseorang masuk dan hampir menabraknya. Kalau saja tidak berpegangan dengan ganggang pintu kaca yang masih dipegangnya Nirbana yakin kalau dia akan jatuh terduduk karena kekuatan dorongan manusia bertubuh besar itu.

"Kalau jalan hati-hati dong!" omel Nirbana selagi memperbaiki posisi berdirinya.

Ia menatap laki-laki sekilas yang menggumamkan kata maaf, "Sorry." Tapi detik berikutnya langsung berlalu begitu saja. Bahkan laki-laki itu tidak perlu merasa repot untuk memastikan keadaannya baik-baik saja.

"Kenapa di dunia ini banyak sekali laki-laki yang minim manner sih?! Kezel banget rasanya!" Makinya agak keras sebelum membuka pintu kaca dengan kasar lalu mengeluarkan dirinya dari café itu.

Nirbana bergegas ke bahu jalan, mencari zebracross terdekat untuk menyeberang jalanan yang ramai. Matanya melotot saat melihat lima menit lagi kelasnya akan dimulai. Ia berlari kecil menyeberangi jalan bersama orang lain yang juga ikut mengekorinya.

Saat melihat gerbang sekolahnya, Nirbana merasakan ponsel disakunya bergetar hebat. Sebuah panggilan masuk berasal dari nomor yang tak dikenalnya. Nirbana menjawab panggilan itu selagi berjalan lenggang menuju halaman sekolah. Tak lupa ia menyapa satpam, pak Mamat yang sedang bertugas hari ini.

"Ya, halo?"

"..."

Ah, dia manusia tidak sopan yang mengabaikan janji pertemuan mereka ya. Nirbana tersenyum ketus.

"Ya. Tidak masalah. Tapi lain kali, harap menepati janji anda. Karena bagaimanapun, yang dipercayai dari seorang laki-laki adalah kata-katanya. Kalau anda ingkar, lalu apa lagi yang bisa dilihat? Ah itu saran dari saya saja. Maaf karena saya harus mengajar, saya harus pergi."

Nirbana segera memutuskan panggilan. Ia telah sampai didepan ruang kelas yang hendak ia isi. Siswa yang tadinya duduk didepan kelas berhamburan masuk, beberapa masih berada diluar, menyambut kedatangannya, "Siang Bu Nirbana."

"Siang, ayo masuk, kita quiz hari ini." Katanya diimbuhi senyuman yang ia buat semanis mungkin meskipun ia yakin senyumannya itu racun bagi siswa kelas 12 yang kini diajari olehnya.

"Tidak bisakah Bu, quiz nya jam terakhir saja?" tawar anak yang berambut pendek sebahu.

Nirbana tersenyum racun lagi-lagi, ia menggeleng sambil menjentikan jari, "jangan khawatir, yang ini hanya untuk mengetes pemahaman kalian tentang materi minggu lalu. Harusnya masih ingat bukan?"

Dan detik berikutnya Nirbana bisa mendengarkan gerutuan anak-anak diikuti dengan desahan nafas berat yang mereka keluarkan seolah itu adalah masalah terberat dalam hidup mereka.

Nirbana menggeleng, tersenyum geli melihat kelakuan bocah-bocah yang sudah tak lagi asing dimatanya.

"Okay, kalau kalian memaksa, saya kasih waktu 10 menit untuk review materi. Saya harus ambil buku ke kantor, jangan ramai dan jangan keluar kelas. Kalau saya lihat ada yang ramai atau berada diluar kelas, review saya batalkan dan nilai quiz kalian akan masuk perhitungan nilai rapot."

Dan senyuman langsung merekah sempurna diwajah yang beberapa detik lalu seolah tidak berniat untuk hidup. Nirbana menggelengkan kepala saat melihat anak-anak itu langsung bergegas masuk kelas sesuai perintahnya.

Ia berjalan menuju ruang kantor yang berjarak 100 meter dari bangunan kelas.

Menghela nafas lega, selagi mengetikkan chat WhatsApp pada Limar.

Nirbana J. K. : Barangnya udah aku anterin. Mission complete!

***

Better Together [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang