Chapter 1

10.5K 782 65
                                        

Be good readers ❤☺
Click vote and lets comment the chapter 😊
Happy reading

***


Jemput sekarang, ya.’

Sebuah pesan singkat yang langsung terbaca oleh indra matanya, disebabkan oleh layar ponsel yang ikut menyala seiring dengan pop up pemberitahuan pesan masuk WhatsApp. Nirbana mengetukkan jemarinya di meja bergantian—mulai merasa risau karena rapat guru yang seharusnya selesai 15 menit yang lalu tak kunjung menunjukkan akan diakhiri. Nirbana menyangga dagunya, melihat pop up pesan WhatsAppnya lagi.

Sekarang, adik sayang ☺’

Sial.

Nirbana mengumpat dalam hati, tak urung mengambil ganas ponsel yang sudah terletak di meja selama 45 menit belakangan—karena etika, dilarang memakai ponsel saat rapat sedang berlangsung. Ini adalah treatment pertama yang harus ia dapatkan setelah masuk lingkup kompleks sekolah swasta elit terkenal di Surabaya—yang diberikan langsung oleh guru pendampingnya, Mrs. Shanty.

Dengan diam-diam, Nirbana mengusap layar kunci dan mengetikkan balasan pada orang itu. Ia menatap keadaan sekitar sebelum mengetikkan balasan—di bawah meja. Sungguh sekarang ia lebih mirip seorang bocah yang takut kedapatan bermain hape padahal sudah dilarang keras selama pembelajaran—kecuali memang sedang dibutuhkan. Tapi ini sudah lewat dari jam kerjanya, juga jadwal rapat yang semestinya, kenapa ia harus merasa takut.

Nirbana mengetikkan balasan, bahkan tanpa harus melihat keypad yang ia sentuh. Ia nyaris hafal—dan bisa menuliskan pesan disana meskipun tanpa melihatnya. Nirbana sudah yakin kalau dia mengetikkan balasan, sebelum mengirim ia menyempatkan untuk mengecek tulisannya—memastikan kalau itu bisa dibaca.

Nirbana J.K : Sorry telat. Lg rapat sm guru2. Molor 20 menit. Msh d skolah.

Nirbana meletakkan benda itu ke atas meja lagi. Ia berusaha mengikuti perbincangan rapat yang kembali pada kebingungan pengurus—panitia acara Dies Natalis sekolah—tentang busana dan tema yang cultural dan bisa mencangkup sisi modern dan perkembangan jaman, juga estetika menurut kependidikan.

Nirbana menghela nafasnya panjang, kalau memang pengurus belum siap secara konsep, seharusnya rapat tidak perlu dilaksanakan sekarang karena itu sia-sia, just wasting time. Nirbana melirik arloji di pergelangan tangannya, mendesah lagi. Kalau saja ia tidak punya acara—agenda lain setelah ini, ia tidak akan keberatan ikut useless meeting sore ini. Ia harus pergi menjemput adiknya, lalu lanjut ke bandara Juanda—yang letaknya berseberangan arah dengan sekolahnya sekarang. Ia bahkan harus menempuh perjalanan selama 45 menit lewat tol.

Lalu pop up nya menyala lagi, kali ini berasal dari sumber yang berbeda.

Mbak udah selesai? Aku tunggu di foodcourt, ya.’

Nirabana memejamkan mata, menahan gejolak amarah karena rapat yang tak kunjung menemukan titik terang. Kini ketukan yang sebatas jari sudah berpindah menuju bulpen yang ia genggam.

Is there any other opinion?” Madam Bertha—wakil kepala sekolah yang juga merupakan atasannya mulai mengedarkan pandangan, menatap satu persatu peserta rapat yang sepertinya tidak terlihat kondusif. Bagaimana bisa dikatakan kondusif bila rata-rata para guru yang sudah berumur itu sedang mengerjakan tugas dari balik layar komputernya, atau bahkan terang-terangan sedang mengoreksi tugas siswanya. Bahkan dari tempat duduknya yang berada dibagian tengah sedikit kebelakang—sebagai guru muda—Nirbana bisa melihat beberapa pak guru malah sibuk bermain mahjong dilayar komputernya.

Better Together [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang