Chapter 2

5.7K 616 30
                                    

Be good readers ☺
Click vote, and leave your comment here 😆
Happy reading ❤

***

Kakinya lemas. Nirbana tidak percaya bahkan ketika sampai di rumah seluruh ototnya tidak bekerja sepenuhnya. Nirbana hampir saja jatuh terduduk kalau saja ia tidak berpegangan pada pintu mobil. Sekarang bahkan kakinya tidak bisa menopang beban tubuhnya yang tidak seberapa ini. Nirbana mendudukkan dirinya—jongkok didekat pintu mobil. Rissa buru-buru mendekatinya—ikut terkejut dengan tingkah kakaknya yang seperti ini. Rissa menahan Nirbana dengan tubuhnya, “Mas Ragha, kesini! Mbak Nirbana pingsan!”

Ragha yang awalnya hendak menurunkan koper dari bagasi, langsung beralih menuju pintu penumpang—melihat dua saudarinya kini tengah berpelukan. Ia langsung bergerak cepat, membantu Rissa untuk menopang tubuh Nirbana. Ragha langsung menggendong Nirbana kedalam pelukannya. “Ris, bantu Mas urus bagasi ya, kalau nggak panggilin Mbok Jar.” Kata Ragha.

Rissa mengangguk. Ia menutup pintu mobil, bergegas mengikuti Ragha yang terlebih dulu masuk kedalam rumah. Ragha langsung membawa Nirbana menuju kamarnya yang untungnya terletak di lantai 1. Ragha meletakkan Nirbana di tempat tidur, menepuk pelan pipi Nirbana.

Wanita itu membuka matanya perlahan, “Nir? Kamu kenapa? Sakit mananya?” tanya Ragha dengan khawatir.

Nirbana langsung menangis tergugu saat Ragha menanyakan hal itu. ia memeluk tubuh Ragha selagi menangis tersedu-sedu didalam pelukannya. Ragha masih bingung dan tidak tau apa maksud adiknya, tapi ia tetap memeluk penuh kasih sayang, mengelus adiknya—dan membiarkan anak itu membasahi seragamnya penuh dengan ingus dan air mata.

***

Setelah puas menangis—setengah jam dalam pelukan Ragha, yang dilanjutkan satu jam setengah lainnya dalam kamar—Nirbana baru keluar kamar saat merasakan perutnya bergemuruh. Padahal katanya orang patah hati tidak akan merasakan kelaparan, dan bisa tidak makan berhari-hari karena tidak berselera tapi rupanya hal itu tidak benar. Setidaknya untuknya, karena setelah 2 jam menghabiskan waktu untuk menangisi kebodohannya, Nirbana merasakan energinya habis.

Ia keluar kamar dengan pakaian  kerjanya—dengan rambut berantakan mirip singa, hidung kemerahan, dan mata yang bengkak mirip bola tenis. Ia mengabaikan pandangan prihatin dari Mbok Jar, dan Mbak Tuti—ART yang bertugas untuk mengurusi kebutuhan rumah tangga rumah ini—yang sedang menata dapur.

“Mbak, ada air dingin nggak?” tanya Nirana pada Mbak Tuti.

Mbak Tuti tidak banyak bicara langsung memberinya segelas air putih dingin. Nirbana duduk dikursi tinggi meja bar, meneguk airnya sampai habis.

“Mas Ragha tadi pesan, kalau Mbak Nirbana bangun suruh nyari Mas Ragha. Dia mau bilang sesuatu.”

Nirbana merasakan tubuhnya tidak berenergi untuk bercerita atau melanjutkan interview bersama Ragha. Ia tau, kakak kesayangannya itu tidak akan membiarkannya lepas kali ini. Dan Nirbana masih belum memikirkan alasan lain untuk menyusun kronologisnya. Setidaknya cerita yang nantinya akan menjamin keamanan hidup Ragha, juga Dito.

“Mbak Tuti masak apa?” tanya Nirbana lemas.

Mbak Tuti terkejut, “tadi nggak masak, Mbak. Mas Ragha sama Mbak Rissa pesan gofood katanya. Mbak mau dimasakin apa?” tanyanya.

Nirbana terdiam. Ia tidak tau ingin makan apa, tapi ia benar-benar lapar. Tubuh lemas tanpa tenaga tidak mendukung kinerja otaknya sama sekali. Nirbana melirik jam dinding, hampir pukul sembilan malam. Biasanya akan ada penjual nasi goreng yang melintasi kompleks rumahnya. Tapi sepertinya ia tidak akan sempat mengingat perutnya terasa perih sekarang.

Better Together [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang