Chapter 19

3.8K 340 12
                                    

Happy reading

***


Kado yang diberikan Nirbana rupanya benar-benar memberikan kesan yang bagus untuk Pak Waluyo dan istrinya. Keduanya tampak terkesima dengan selera Auriga—tepatnya Nirbana yang sudah memberikan saran. Auriga benar-benar memiliki hutang pada Nirbana kali ini, meskipun wanita itu bersikeras untuk tidak menagihnya—sebagai hitungan atas makan siang mereka tempo lalu.

Auriga masih harus menyelesaikan perjalanan bisnisnya sampai rampung, yang tandanya masih lama sampai ia benar-benar kembali ke Surabaya. Meskipun hari-harinya penuh agenda, jadwal yang padat tapi Auriga tidak mampu menghapuskan bayang-bayang Nirbana dari dalam pikirannya. Selalu saja, diwaktu luang, Auriga akan menyempatkan diri untuk mengirimkan chat tidak jelas pada Nirbana yang terkadang hanya di read saja.

Frans mengatakan kalau Auriga kini terlihat tidak terlalu waras—kalau itu berurusan dengan Nirbana—dan ia tidak bisa menampiknya. Kalau saja boleh, ia ingin menyudahi perjalanan bisnisnya ini dan segera kembali berada di sisi wanita itu. Ah, membayangkan Nirbana dengan muka judes menemani hari-harinya sudah membuat Auriga senang.

Auriga menyelesaikan meeting besarnya di Jakarta, lalu bergegas menuju Makassar untuk visit proyek baru mereka. Selagi dalam perjalanan, ia menyempatkan diri untuk menelepon Nirbana. pada dering ke empat, barulah panggilan itu diterima.

Halo, Nir. How do you do?” Sapa Auriga dengan wajah yang sumringah sembari melambaikan tangannya. Menyalakan lampu mobilnya sebagai penerangan agar wajahnya terlihat jelas saat facetime.

Nirbana mengangkat sebelah alisnya, lalu melirik jam dinding yang ada dibelakangnya, “I have a pulse, so I must be okay.” Sapa Nirbana balik dengan wajah yang tidak terlalu bersahabat.

Auriga terkekeh geli, sadar kalau ia menelepon di waktu yang tidak tepat. Bagaimana tidak, kalau ini sudah hampir pukul 11 malam. Tapi melihat Nirbana tadi sempat membalas chatnya membuat Auriga ingin menelepon wanita itu begitu saja. “What are you doing?”

Make some test question for the children, then read some report about how dies natalies is going. And you? Kayaknya kamu bohong ya soal sibuk?” bidik Nirbana merasa Auriga sudah menipunya dengan berdalih sibuk. Padahal hampir setiap jam, Auriga mengiriminya pesan tidak jelas.

Nirbana memang merasa geli, tapi ia tidak benar-benar risih dengan kelakuan Auriga yang satu itu. Kadangkala kalau Nirbana sedang benar-benar sibuk, maka ia akan membiarkan pesan itu terbaca saja.
“I wonder, kamu yang lebih sibuk dari aku. Semua chatku cuma kamu baca.”

“Kamu chat nggak penting semuanya kok.” Nirbana membalas, “apa kamu lagi dijalan?”

Yap. Mau ke hotel. Besok baru ke proyek.” Kata Auriga lagi. “Kalau baca laporan aku jagonya, ada masalah?” tanya Auriga lagi.

Nirbana tampak menghela nafasnya panjang, “ya, sedikit. Aku nggak tau ini kendala atau nggak. Anak-anak kepengen ngundang guest star, tapi melebihi budget yang disediain sekolah. Jadi lagi cari alternatif lainnya buat itu. Kapan lalu aku usul buat bikin proposal sponsor, tapi kayaknya belum ada yang tembus. Dari pihak sekolah sendiri sudah sepakat nggak bisa kasih budget lebih karena emang dianggarannya cuma segitu.”

Nirbana menatap Auriga yang masih tersenyum mendengarkannya, “sorry. Jadi cerita ngelantur. Gini nih dilemanya jadi guru pembimbing OSIS.” Kekehnya.

Udah ajuin proposal dimana aja? Ke kantor aku juga udah?” tanya Auriga.

“Hm, tunggu aku cek dulu. Beberapa perusahaan cukup besar sih, tapi udah ditolak. Perusahaanmu yang mana ini?” tanya Nirbana dengan nada jenaka.

Better Together [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang