Chapter 3

7.3K 620 66
                                        

Don't forget to spread love, comments, and vote for the story
Happy reading ☺❤

***

Hari Sabtu, mereka tidak jadi pergi ke Malang karena yang dituju, Nizam mengabarkan kalau dirinya sedang mengikuti seminar di Yogyakarta, dan kemungkinan baru pulang hari Rabu. Jadi mereka menunda kepergian mereka.

Sorenya, Rissa berpamitan pergi ke Mall berencana hangout bersama sahabatnya—tentu dengan peraturan strict yang diberlakukan Ragha padanya. Diantaranya; harus dijemput, nggak pake motor (wajib mobil, RIP rakyat biasa), berpakaian tertutup tanpa buka-bukaan, dan pulang sebelum jam 10 malam. Ragha merupakan perwujudan dari penjaga atau orang tua tipe oldschool, kuno dalam balutan penampilan modern yang menggugah selera. Kepribadiannya pakem sehingga ia menggenggam erat pada ajaran kesopanan dan norma.

Tapi sepertinya itu yang dibutuhkan saat membesarkan anak perempuan yang masih belia dan hendak tumbuh dewasa seperti Rissa. Setelah memastikan teman Rissa semua perempuan, Ragha juga menawarkan diri untuk mengantar mereka—mirip bodyguard. Teman Rissa langsung setuju karena bagaimanapun, tampang Ragha memang diatas rata-rata. Tidak heran semua mendadak ganjen didepannya. Siapa pula yang keberatan pergi sama Ragha?

Nirbana tidak memiliki jadwal—karena ia mematikan ponsel hampir satu hari penuh. Biasanya malam minggu seperti ini, sahabatnya akan mengajaknya untuk hangout atau sekedar nongki cantik di restoran.

“Kamu nggak ikut sekalian Nir?” tanya Ragha yang sedang memeriksa penampilannya di depan kaca.

Nirbana yang sedang duduk rebahan di ruang keluarga menggeleng, “Nggak mas. Bosen. Itu-itu aja.” Nirbana mengamati Ragha dari atas sampai bawah, “aneh banget ya, Mas kayak gini tapi masih jomblo. Nggak malu, ikut anak-anak main ke Mall kayak Sugar daddy aja.”

Ragha mencibirnya balik, “siapa bilang mau ngintilin mereka? Aku mau ketemu temanku di restorannya, jadi sekalian. Lagian aku juga nggak tertarik sama bocil tuh, memangnya aku pedofil.”

Nirabana terkekeh geli, “makanya buruan cari pacar dong, Mas ku yang ganteng.”

Ragha melanjutkan, “biar Nizam dulu ah.” Katanya kemudian.

“Ih, emang harus gitu ya, urut?” tanya Nirbana lagi. Ia sangat tidak percaya dengan segala macam tradisi kejawaan yang mengatakan hal-hal semacam tentang perjodohan dan yang lainnya. Salah satunya tentang menikah yang harus urut dari kakak pertama, atau jodoh yang tidak boleh berarah rumah utara-selatan. Masih banyak rumor lain yang Nirbana dengar dari rekan gurunya—yang kebetulan guru bahasa jawa yang sangat mengenal tradisi semacam itu.

“Nggak juga sih.” Kata Ragha sambil meringis geli, “nanti kalau aku nikah duluan, nggak ada yang jaga kamu. Nizam kan jauh.” kata Ragha sambil merapikan pakaiannya.

Nirbana langsung terhenyak, “tapi kan aku udah gede mas, bisa jaga diri sendiri. Lagian kalau aku udah nikah kan juga bukan tanggungannya Mas.”

“Nah itu yang salah.” kata Ragha, ia tersenyum teduh pada Nirbana, “meskipun kamu nikah, atau gimanapun, kamu tetap adik Mas. Tanggungannya Mas.”

“Iya, tau. Tapi kan aku ada suami, Mas juga butuh orang yang ngurus.”

“Ngurus diri itu gampang, Nir.” Kata Ragha lagi, “pokoknya gitu lah. Nggak bisa dijelasin, kamu belum ngerti.”

Nirbana memutar bola matanya. Memangnya apa perbedaan mereka. Mereka hanya terpaut usia 5 tahun saja—tidak begitu jauh. Ia jadi sadar kalau alasan sebenarnya Ragha tidak pacaran adalah dirinya, dan sekarang ia merasa tambah bersalah, “kalau kamu nikah, kayaknya bebannya berkurang dikit sih. Nanti aku boleh lah pacaran tipis-tipis. Kalau kamu nikah,” lanjut Ragha.

Better Together [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang