Chapter 44

2.4K 181 13
                                    

Iris biru itu menatap tajam tumpukan barang di sudut kamar. Bibir merah muda milik pria itu mengukir senyuman miring. Tentu saja dia mengenali barang-barang itu. Itu adalah barang-barang yang pernah ia berikan kepada seorang gadis yang ia sukai. Angela Virginia Kathleen.

Rupanya Angela tidak pernah menyentuh barang-barang itu sama sekali. Dia hanya menyimpannya dan berharap bisa mengembalikan barang-barang itu kepada si pemberi suatu hari nanti. Dan kini, dengan bantuan saudaranya, gadis itu telah berhasil mengembalikan barang-barang itu. Sungguh luar biasa.

"Singkirkan barang-barang itu," ujar Divon dingin kepada para pria yang membantu membawa barang-barang itu ke dalam kamarnya. Divon tahu bahwa Dizon yang menyuruh mereka.

"Tapi tuan, di mana kami harus menaruh barang-barang ini?" tanya salah satu dari mereka dengan ragu. Barang-barang ini cukup banyak dan nilainya tergolong tinggi.

"Terserah kalian. Setelah aku kembali, aku tidak ingin melihat barang-barang ini mengotori kamarku lagi." Setelah mengatakan kalimat sarkas itu, Divon keluar dari kamarnya.

Mengenakan jaket kulit berwarna hitam miliknya, Divon memasuki lift. Dia ingin pergi guna menenangkan pikirannya yang kalut. Kabar Angela dan Dizon yang kini resmi menjadi sepasang kekasih sudah terdengar hingga ke telinganya. Dia ingin marah. Dizon telah melanggar janjinya. Saudaranya itu telah mengkhianati dirinya. Namun, di satu sisi, Divon tidak ingin egois. Jika memang Angela memilih Dizon, Divon bisa apa. Jika kebahagiaan Angela memang berada pada Dizon apa lagi yang bisa Divon lakukan selain merelakannya.

Mencintai tidak harus memiliki, kan?

Ya, seorang Divon Ead Alfaro telah bertekad melupakan dan merelakan gadis yang ia sukai kepada saudara kembarnya, Dizon Ead Alfaro.

Lagi pula, masih banyak gadis lain di luar sana. Dia tidak boleh berpaku pada seorang gadis saja. Dia harus mencoba untuk mengenal dan membuka hati pada gadis lain. Sudah cukup dirinya terkurung dalam penjara sepi yang ia ciptakan sendiri.

Setidaknya itulah nasihat yang dikatakan Alexo padanya. Divon ragu, apakah dia bisa melakukannya? Bagaimana pun, ini sudah terlalu lama. Namun, tidak ada salahnya mencoba. Alexo bilang, tidak ada kata terlambat untuk melakukan suatu hal
baru. Di mana hal baru itu ditujukan untuk kebaikan. Apalagi untuk kebaikan diri sendiri. Sesuatu yang sering dilupakan dan dihiraukan oleh kebanyakan orang saat ini.

Divon menghela napas berat. Dia langsung keluar begitu pintu lift terbuka di lantai dasar. Pria itu berjalan keluar rumah. Menuju garasi yang luasnya hampir setengah lapangan bola. Dia berjalan menuju sudut, menghampiri sebuah motor besar yang ditutupi oleh kain hitam. Divon membuka kain itu. Memakai helm full face berwarna hitam, tanpa menunggu lama, dia menaiki motor itu dan melaju pergi meninggalkan rumah menuju tempat yang belum ia tentukan.

💫

"Kau menyiapkan semua ini, Diz?"

Dizon mengangguk. Dia menatap Angela yang berdiri di sebelahnya. Gadis itu tidak hentinya berdecak kagum membuat Dizon gemas ingin mencubit pipinya.

"Kira-kira rumahku nampak tidak ya dari sini?" Angela berkata polos. Dia melihat jauh ke depan.

Saat ini, mereka sedang berada di atap gedung pencakar langit milik keluarga Alfaro. Gedung yang memiliki seratus lantai itu tentu membuat pemandangan di sekitarnya menjadi menakjubkan jika dilihat dari atas. Apalagi malam hari seperti ini. Lampu-lampu perkotaan yang gemerlap begitu memanjakan mata. Seandainya banyak bintang malam ini, pemandangan akan menjadi semakin sempurna.

"Hatchuuu!" Angela bersin. Gadis itu menggosok hidungnya yang terasa gatal.

Satu kelemahan tempat ini. Angin berembus kencang dan udaranya yang dingin.

The Mysterious Prince {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang