Chapter 22

4.4K 316 7
                                    

"Kau mau ke mana?"

Alexo merentangkan kedua tangannya selebar mungkin di hadapan Divon yang berada di ambang pintu, hendak keluar kamar.

"Minggir! Aku mau pergi!" ucapnya ketus sembari mendorong tubuh Alexo kuat.

Untung pertahanan Alexo cukup bagus. Kalau tidak, sudah dipastikan dia akan terhempas jauh. Berhubung Alexo sekuat raja Neptunus yang mampu mengendalikan air laut, jadi dia hanya sedikit terhuyung walau Divon mendorongnya sekuat itu.

"Bukankah kau masih dalam hukuman? Kau tidak boleh menemuinya, kan?" Alexo memperingatkan. Tapi, sepertinya Divon acuh. Selagi ayahnya pergi ke luar negeri untuk urusan perusahaan, tidak ada yang bisa mencegah Divon. Walau itu kakaknya sekali pun.

"Ayah tidak di sini. Itu artinya aku bebas." cetus Divon acuh.

Alexo berdecak. "Tapi, kalau ayah sampai tahu. Dan pasti akan tahu. Hukumanmu akan bertambah."

"Itu bisa aku urus nanti. Sekarang aku harus pergi." ucap Divon kemudian melangkah cepat. Dia mengabaikan Alexo yang terus memanggilnya.

Di ujung tangga, Divon mengenakan jaket kulit berwarna hitam yang sejak tadi ada di genggamannya. Dia mengambil ponsel dan menghubungi seseorang.

Alexo masih terus memandang Divon. Tadinya, Alexo hendak mengingatkan Divon kalau rumah mereka tersedia lift. Tapi, kenapa adiknya itu repot-repot naik tangga dari lantai empat ini?

Dasar aneh! Memang hanya Alexo yang normal dan waras di sini.

💫

"Kakak sudah siap?" tanya Angela setelah mengancing koper kecilnya.

"Sudah," ujar Anna semangat. Dia mengunci lemari setelah mengambil topi pantai miliknya yang masih bagus meski sudah dua tahun tersimpan di sana.

"Kapan mereka datang?" tanya Anna yang sudah menenteng kopernya. Dia jarang liburan. Sekali libur, dia harus benar-benar menikmatinya. Apalagi rumah sakit tempat dia bekerja hanya memberi cuti tiga hari. Jadi selama tiga hari itu harus dihabiskan dengan bersenang-senang.

Angela melirik jam tangan, "Sebentar lagi."

Anna menghela napas panjang. "Aku harap dengan liburan seperti ini pikiranku bisa lebih terkontrol dan aku bisa lebih cepat melupakan Stefan." Ekspresi Anna nampak sedih.

Angela mendekati Anna dan menepuk pelan bahu kakaknya itu. "Hei, jangan merusak suasana. Kita ini ingin pergi bersenang-senang. Jadi, kau tidak boleh sedih. Aku juga berharap kau bisa melupakan pria itu secepatnya. Kalau perlu di pantai nanti kau bisa menemukan pria lain yang lebih baik dari dia." Angela menasihati. Dia juga sangat ingin Kak Anna cepat move on dari pria berengsek seperti Stefan.

"Seandainya semudah itu." Nada suara Anna masih terdengar sedih dan lemah. Angela menatap Anna tajam.

"Jangan merusak suasana, Kak. Kalau begini aku juga bisa ikut bersedih. Kakak sendiri tahu kan kalau aku juga sedang patah hati?" celetuk Angela sembari bersedekap. Dia memasang ekspresi antara sedih, malas, dan putus asa.

Anna yang sempat lupa akan hal itu kemudian tersenyum. Karena terlalu sibuk memikirkan hatinya sendiri, dia jadi lupa dengan hati Angela yang juga sedang rapuh.

"Hehe ... aku tidak sedang bersedih. Baiklah, aku tidak akan membahas dia lagi."

Angela masih menatap Anna malas. Namun, beberapa detik kemudian dia tersenyum.

"Itu baru namanya kak Anna." ucap Angela. Dia langsung merengkuh bahu kakaknya.

"Aku sudah siap!!!"

Refleks Angela dan Anna menoleh ke arah pintu kamar karena mendengar suara yang tiba-tiba muncul dari sana. Mereka berdua sama-sama terkejut melihat penampakan seseorang. Di sana, berdiri Gerald dengan busana ala anak pantai. Lengkap dengan gitar yang tersampir di pundaknya. Topi pantai berwarna cokelat sudah anteng di atas kepala dan juga kaca mata hitam yang sudah bertengger di hidung mancungnya.

Gerald tersenyum lebar ke arah kedua kakaknya yang masih tertegun. Mereka cukup takjub melihat penampilan Gerald. Apalagi saat tersenyum seperti itu. Lesung pipitnya menjadi terlihat semakin jelas menambah ketampanan bocah itu. Gadis mana pun yang melihatnya pasti terpesona. Pantas saja banyak gadis yang menyukai Gerald walau pun bocah itu tidak memiliki mobil mewah dan uang banyak seperti teman-temannya yang lain.

"Kau jadi ikut?" tanya Angela sedikit terkejut. Tadi katanya dia sedang tidak enak badan.

"Oh, jelas. Bagaimana bisa aku melewatkan kesempatan melihat pemandangan gadis-gadis seksi di sana." Gerald menyeringai sembari menaik-turunkan alisnya, bermaksud menggoda kedua kakaknya.

Angela bersiap melepaskan sepatunya dan berniat melempar Gerald karena sudah bersikap sok tampan di hadapan mereka. Namun, suara klakson mobil mengurungkan niatnya.

Anna berjalan menuju jendela, dia melihat siapa yang datang. "Nash dan yang lainnya sudah di depan. Sebaiknya kita segera keluar." ucap Anna.

Angela menatap Gerald dengan tatapan setajam elang. "Kali ini kau selamat. Awas saja jika di pantai nanti kau berlagak sok tampan. Aku akan menyeretmu ke tengah laut. Ingat kau sudah memiliki pacar! Harusnya kau setia pada satu gadis saja! Kau mempunyai dua kakak! Jangan sampai perbuatanmu yang suka mempermainkan wanita itu berimbas pada kami," Angela terdiam sejenak saat mengingat sesuatu. "Oh!!! Jadi ini semua karena mu!!! Kami dipermainkan para pria-pria itu pasti karena semua dosa-dosamu!!! Itu pasti!!! Aku yakin itu semua karena mu!!! Awas kau Gerald!!! Rasakan pembalasan ku!!!"

Di mata Gerald, Angela sudah persis seperti banteng betina yang hendak mangamuk. Gerald bahkan melihat sudah ada dua tanduk yang tumbuh di kepala Angela.

"Rasakan ini playboy!!! Gara-gara perbuatanmu kedua kakakmu menjadi menderita." Angela membuka sepatunya dan langsung melepari Gerald yang langsung berlari ke luar rumah.

💫

"Semua data dan informasi mengenai keluarga itu ada di dalam file ini," Seorang pria bercambang dengan garis wajah tegas meletakkan sebuah flashdisk di atas meja atasannya. "orang-orang yang sering berinteraksi dan cenderung dekat dengan mereka juga ada. Semua lengkap. Saya pastikan anda akan sangat puas."

Pria paruh baya yang sedang duduk di kursi kebesarannya menatap benda kecil itu penuh minat. Kemudian, dia menatap anak buahnya itu dengan sorot puas.

"Baiklah. Kau boleh keluar." Orang itu hendak memeriksa semua data itu seorang diri.

Pria itu menunduk sopan. "Baik, Pak. Tapi, bapak harus tahu. Ketiga putra mereka cukup kuat dan disegani di kota ini. Mereka mempunyai banyak koneksi dan kenalan. Aku khawatir jika rencana ini  akan sangat sulit nantinya."

Pria paruh baya yang masih menyisakan ketampanan masa mudanya tersenyum miring. Dia menatap bawahannya itu dengan tatapan bengis.

"Kau diam saja. Aku pasti akan mendapatkan celah agar mereka semua hancur." Senyuman pria itu benar-benar terlihat mengerikan dan kejam. Bagaimana bisa dia tersenyum dengan ekspresi wajah datar seperti itu?

"Baiklah, Pak. Aku hanya mengingatkan saja." ucap sang bawahan kemudian pergi setelah bepamitan dengan sopan.

"Aku pasti menemukannya! Pasti!! Tidak ada seorang pun yang sempurna! Jadi, aku pasti akan menemukan celah untuk menghancurkan mereka!!"

💫

Selamat malam menjelang pagi, guys!!! Jangan lupa vote dan komen ya!!!

Aku udah ngantuk. Bobo dulu ya. See u....

The Mysterious Prince {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang