37. Malam puncak

9K 1.3K 136
                                    

Netra pemuda itu menelaah setiap percikan api yang terlihat. Kobaran api besar terlihat indah dimalam hari, namun siapa yang tahu bahwa keindahan itu berbahaya. Bahkan cahaya dari api itu menerangi kegelapan malam, memantulkan cahaya ke wajah-wajah yang terpukau melihat kobarannya.

Seluruh peserta saling bergandengan tangan, membentuk lingkaran dengan api unggun ditengah nya. Kayu bakar yang disusun rapih hingga tinggi kurang lebih tiga meteran itu menghasilkan api yang menjulang tinggi hampir menyentuh awan.

Beruntung besar api sudah diperhitungkan dengan keadaan sekitar, jadi tidak akan menimbulkan kebakaran yang merugikan. Acara api unggun dilaksanakan dihalaman belakang sekolah.

Tempat lapang itu dipilih karna posisi nya berjauhan dengan bangunan sekolahan. Hanya ada beberapa pohon dan tanaman obat-obatan yang ditanam oleh anak-anak alumni.

Pantulan elemen berwarna Oren itu nampak terlihat di mata orang-orang yang menikmatinya. Bukan hanya peserta saja yang hadir di malam ini, namun juga banyak wali murid yang berkunjung melihat anak mereka dan kakak alumni sebelumnya pun turut meriahkan malam puncak.

Malam pelepasan Mpls itu pun di meriahkan oleh masing-masing perwakilan kelompok, untuk maju dan membawakan sebuah penampilan.

Kelompok Syam diwakilkan oleh Agus dan Bayu, sedangkan Syam dan Adit masih mencoba move on dari kejadian sore tadi. Sejak kejadian itu, Syam menjadi terkenal diangkatannya. Malu tentu saja, namun mau bagaimana lagi, ia harus melanjutkannya tidak bisa stuck disitu saja.

Nyala api unggun mulai meredup seiring dengan kayu bakar yang mulai menjadi abu. Para murid sudah bubar masing-masing, ada yang menemui orang tuanya dan ada yang mengobrol dengan teman-teman nya. Dan Syam tidak berada pada dua opsi tersebut.

Pemuda itu duduk diatas rumput, mencari tempat gelap untuk bersembunyi dari keramaian. Berusaha tidak peduli pada teman dan Abang nya yang mungkin saat ini tengah mencarinya.

Menyembunyikan dirinya dari cahaya lampu yang sudah dinyalakan kembali, berusaha menghalangi lembaran kebersamaannya dengan Janna yang melintas. Bukan, bukan nya ia tidak mau atau ingin melupakan nya.

Namun ia hanya mencoba kuat. Kenangan bersama Janna melemahkan nya, ia terserang rasa rindu yang begitu dalam. Ia tidak bisa mengubah kenangan itu menjadi kekuatan, dan ia merasa buruk untuk itu.

Syam merindukan Janna. Pemuda itu merindukan wanita kesayangan nya. Merindukan bunda nya hingga ia tidak sanggup untuk berdiri lagi. Namun ia sadar ia harus, harus bisa berdiri demi kembali berjumpa dengan sang bunda.

"Rindu Bunda, Bunda dimana? Kenapa belum ada kabar? Semua lancarkan Bun? Pasti. Bunda udah janji kan bakal ngasih tau aku kalau Bunda udah aman? Tapi kenapa lama sekali bunda? Aku rindu bunda"

Pemuda itu terisak, mengeratkan pelukan pada lututnya. Sudah cukup lama sejak ia berpisah dengan bunda nya, lalu mengapa bunda nya belum memberinya kabar juga? Setiap hari, setiap hari ia selalu memikirkan sang bunda, berdoa semoga bunda nya baik-baik saja disana.

Jujur, ia bingung dengan segalanya. Perasaannya, keadaan, kondisi dan pikirannya berbeda. Semuanya berjalan begitu saja. Dulu ia membuat rencana dengan sang bunda, namun rencana itu bertentangan dengan hati dan pikirannya.

Kondisi, keadaan yang saat ini sulit untuk ia hadapi. Seperti simpul yang bisa membunuh nya perlahan, dengan pendapat-pendapat yang bermunculan memaksa otak dan hatinya berdebat. Disatu sisi ada bunda nya yang harus ia datangi, lalu bagaimana dengan ayah nya?

Ia berada ditengah nya, jika ia bergeser maka akan ada pihak yang tersakiti. Lalu bagiamana caranya ia keluar tanpa ada yang tersakiti? Tidak ada yang tahu masalah yang ia rasakan selain sisirnya sendiri. Lantas ia harus meminta bantuan siapa?

Ia tidak ingin menyakiti ayah nya dengan meninggalkan pria itu, namun ia juga tidak bisa menyakiti bundanya dengan tidak datang menemuinya. Memikirkan hal itu sungguh membuat pikirannya seakan ingin meledak.

Iri, saat melihat murid lainnya menghampiri kedua orang tua nya. Mendapat kecupan ringan dari sang bunda dan tertawa bersama sang Ayah. Syam juga ingin seperti itu, bercanda bersama keduanya. Namun ia sadar itu hanya lah sebuah angan yang mungkin tidak akan pernah ia dapatkan.

"Syam!"

Pemuda itu berjengit kaget saat namanya disebut seseorang. Netra pemuda itu meliar kesekitar, mencari siapa pelaku peneriakan namanya. Hingga Netranya berhenti tepat di sekelompok orang yang ternyata adalah keluarga ayah nya. Mereka semua hadir, lengkap dengan ayah nya.

Raut wajah orang-orang itu menampilkan kekhawatiran yang mendalam, membuat Syam kembali dibelenggu oleh tali tajam. Kedua Abang dan para sahabatnya itu terlihat kacau. Dan Syam tahu, sepertinya ini saat nya ia untuk keluar dari persembunyiannya.

Tangan rapuh itu menghapus air mata yang membasahi pipi, ia tidak boleh terlihat habis menangis. Atau keluarga nya itu akan curiga dan bertanya lebih dalam nantinya.

Sudut bibirnya terangkat seperti biasa. Pemuda itu berlari kearah keluarga nya.

"Ayah!" Pekik Syam.

Syam langsung memeluk tubuh tegap sang ayah yang langsung dibalas oleh pria itu. Pelukan ayah nya itu sangat erat, hingga Syam dapat merasakan bahwa ayah nya takut kehilangannya.

"Kamu dari mana aja? Ayah udah bilang kan jangan jauh-jauh dari Abang kamu, kenapa bisa hilang heh?" Rama memutar tubuh sang anak, mencoba mencari kejanggalan hingga helaan nafas lega terdengar dari bibir pria itu.

Hingga sambaran Dira pada lengan Syam membuat Rama mendengus kesal. Wanita cantik itu terlihat mengecupi wajah sangat anak. Dua hari tidak bertemu membuat Dira uring-uringan tidak jelas di Mansion, sungguh Dira sangat merindukan bocah itu.

"Aku tuh tadi liat akrobat" ujar nya.

Para keluarga nya itu mengernyit bingung, pasalnya ini acara perkemahan bukan sulap. Lalu bagaimana bisa ada akrobat disekolah?

"Nggak ada akrobat, sekolah nggak nyediain acara begituan" ujar Erkan.

Alis Syam menukik "ada tau bang, keren lagi akrobat nya, kaya asli" Ujarnya antusias.

Erkan dan Arkan menghembuskan nafas "nggak ada dek" ujar Arkan yakin.

Syam mendengus, kemudian kepalanya menoleh sebelum telunjuk nya terangkat menunjuk atas pepohonan.

"Noh, liat geh, Mbak nya pinter ya akrobat nya. Eh iya Ma, itu pake tali apa ya kuat bener, masa nggak putus melayang-layang kaya gitu. Tapi sayang aku nggak suka gaunnya, coba warna kuning jangan merah gitu pasti bagus ya, lebih bercahaya gitu kalo dipaduin"

Syam kembali menoleh kearah keluarganya yang saat ini menatap nya dengan tatapan yang sulit diartikan. Kening nya mengerut saat melihat kedua sahabatnya yang tampak ketakutan, mendekap pada Adit.

"S-sayang nya Mama, jangan dilihatin ya" ujar Dira menangkup kedua pipi nya mengarahkan pada wanita itu.

"Emang kenapa Ma, keren tau, Mbak nya juga ngeliatin aku senyum-senyum, ramah banget ih, aku suka" ujar Syam seraya melirik keatas pohon itu.

"Syam! Diem! Jangan boleh kesitu" ujar Rana.

"Ih, itu Mbak nya ngajak aku, kayak nya aku mau diajarin akrobat deh, ayok Ma kesana. Aku mau terbang juga Ayah"

"Kita pulang sekarang!"







________

JANGAN lupa voment and follow

Alrasyam Galendra [Ready Versi Pdf]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang