Bagaskara telah menampakkan sinarnya. Dua hari telah berlalu, yang berarti hari ini Syam sudah mulai kembali masuk sekolah setelah acara persami. Dua hari itu juga Syam hidup tanpa gangguan Rama.
Biasanya ayah nya itu selalu menemaninya tidur, berebut posisi dengan kedua kakak perempuan nya. Namun dua hari ini Rama tidak mengunjungi kamar nya, seperti nya ayah nya itu benar-benar marah pada nya. Alhasil ia tidur dengan gangguan kedua manusia jelmaan iblis, Kinan dan Chaca.
Tubuh nya selalu sakit saat bangun dipagi hari, karna tidur Kinan dan Chaca yang sangat brutal. Kedua manusia itu tidur dengan posisi terlentang tapi bangun dengan kepala yang menjuntai ke bawah, tak ayal Syam pernah melihat Chaca yang sudah mendarat dilantai.
Ajaib!
Sungguh dua hari ini berlalu, namun ia merasa tidak bersemangat menjalaninya. Rama seperti menghindari kehadiran nya, berangkat kerja saat pagi sekali dan pulang saat tengah malam, tentu saja ia sudah tertidur. Syam tidak menyangkal, pasti ayah nya itu kecewa padanya, marah dan berakhir menjauhi nya.
Mungkin ayah nya itu malas melihat wajah nya. Entah Ayah nya itu sadar atau tidak, disini ia juga menyesal telah mengatakan hal seperti itu, seharusnya ia berkata lebih lembut yang mungkin saja tidak akan menyakiti atau membuat ayah nya itu tersinggung. Lagi dan lagi Syam salah dalam mengambil tindakan, berucap tanpa berfikir apa yang keluar dari bibirnya.
Kata-kata itu keluar dengan lancang dari bibir nya. Ia tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Syam hanya mengambil tindakan tanpa tahu akibat nya, tanpa tahu kedepannya akan berdampak pada hubungan ia dan ayah nya.
"Adek? Kok malah ngelamun sih, makan dong, udah siang nih, mau telat?" Dira mengusap rambut Syam berusaha menyadarkan anak itu dalam lamunan panjangnya.
Syam tersenyum, kemudian mengangguk. Netra pemuda itu melirik sebentar kearah sang ayah yang berada di ujung meja makan, ayah nya itu sama sekali tidak mau menatapnya sejak malam itu. Dan ini adalah pertama kalinya Syam berjumpa dengan ayah nya setelah dua hari terakhir tidak bertemu.
"Hari ini kamu berangkat sama Arkan dan Erkan. Abang sama bang Vano nggak bisa nganter, ada perlu" ujar Aldo. Syam mengangguk seraya tersenyum
"Ayah, bi----"
Perkataan Syam terpotong oleh suara decitan kursi. Ayah nya itu pergi sebelum ia menyelesaikan perkataan nya. Kecewa, pasti. Namun ia juga tidak bisa berbuat apa-apa, ini semua terjadi karena ulah nya. Hubungan ia dan sang ayah menjauh, semua karna ia yang tidak berhati-hati dalam mengambil keputusan.
"Dek? Kamu ada masalah sama ayah?" Tanya Kinan seraya mengelus surai sang adik yang duduk disamping nya. Pemuda itu tidak menjawab, memilih diam untuk menghindari pertanyaan dari keluarga nya yang saat ini tengah menatap nya meminta jawaban.
"Ekhem, mungkin Ayah capek, kerjaannya banyak, jangan dipikirin" ujar Vano seraya bangkit dari kursi.
"Berangkat sekarang" ujar Erkan seraya menyiapkan tas sang adik yang tergeletak diatas lantai.
Syam mengangguk, kemudian mengikuti langkah Arkan yang menuntun lengannya setelah mendapat kecupan seperti biasa dari Dira. Ia tahu, bahwa keluarganya hanya mengalihkan perhatiannya. Ia yakin keluarganya itu tahu bahwa ada masalah antara dirinya dan Rama.
"Sudah tua, bukannya menyelesaikan masalah dengan baik-baik malah lari-larian" gerutu Rana lalu menyusul sang adik yang sudah berangkat duluan, ia harus mengintrogasi adik nya itu nanti.
"Ma?" Panggil Chaca yang hanya dibalas deheman oleh Dira.
"Duda kurang perhatian kaya gitu ya?"
_______
"Kamu ada masalah apa sama ayah?" Tanya Erkan yang saat ini berada di belakang kemudi.
Syam menggigit bibir bawah nya gugup, ia yakin, kalau dirinya bercerita pada kedua Abang kembarnya itu pun pasti akan memberikan respon yang sama dengan Rama. Mengingat sejak awal memang dirinya sendiri yang membela Janna.
"Apa salah bang kalo seorang anak mau ketemu sama ibu nya? Salah ya bang?" Syam bertanya dengan nada bergetar, kepala pemuda itu menunduk menatap sepatunya yang terasa lebih menarik.
Arkan dan Erkan saling bertatapan, seperti nya mereka mulai paham akar permasalahannya. Erkan melirik ke kaca spion yang mengarah ke kursi penumpang. Disana, adik nya itu terlihat menunduk, dengan jari jemari yang saling meremat satu sama lain.
Arkan yang paham langsung berpindah tempat ke kursi penumpang, melewati celah antara kursi nya dan kursi Erkan tanpa menghentikan perjalanan. Tangan nya menepuk pundak adik nya itu pelan, namun adik nya itu tetap bergeming.
Tanpa aba-aba ia memeluk sang adik setelah menghembuskan nafas. Bisa ia rasakan tubuh adik nya itu bergetar. Jujur, ini pertama kali baginya bersikap peduli kepada seseorang, sikap acuh nya hilang saat melihat adik nya yang tampak rapuh.
"Seorang anak yang punya keinginan bertemu dengan ibu nya itu hal yang wajar, pertanyaan kamu nggak salah" ujar Arkan.
Syam mendongak, netra sendu nya yang sudah mengeluarkan air itu menatap sang Abang. Bilang saja dirinya cengeng, Syam tidak menyangkal itu. Karna memang ia lemah jika menyangkut keluarga terutama Janna.
"Tapi mungkin aja, cara penyampaian kamu yang salah" Arkan melepaskan pelukannya, mengusap air yang jatuh di pipi sang adik menggunakan tangan nya.
"Abang nggak bela kamu, bukan juga dipihak ayah. Karna Abang udah mati rasa. Ada dan nggak ada nya bunda nggak akan berpengaruh di hidup Abang, tapi enggak buat kamu, Abang tau kamu masih butuh bunda. Sama seperti kamu yang mau bunda di mengerti, sama seperti kamu juga, Abang pengen kamu mengerti ayah"
"Seharusnya. Kamu jangan bawa nama bunda dulu kalau mau ngomong sama ayah. Kamu tahu seberapa terluka nya ayah kan? Nggak gampang buat ayah untuk maafin Bunda. Cara kamu yang kaya gini sama aja kamu ngebuka luka lama ayah"
"Abang nggak bermaksud mojokin kamu atau nyalahin kamu, nggak. Abang cuman mau ngasih tau kamu, mengobati sebuah luka itu harus perlahan agar nggak kerasa sakitnya,, sama kaya ayah, bicarain pelan-pelan agar ayah nggak ngerasa sakit, gunain sudut pandang yang lain, sudut pandang yang lebih pengertian ke ayah. Abang yakin lama kelamaan ayah akan ngerti"
Syam langsung menerjang tubuh sang Abang, memeluk Abang nya itu erat. Masih tidak percaya dengan apa yang barusan Abang nya itu katakan. Abang nya itu tidak menyalahkannya, justru memberikannya pengertian supaya berbicara perlahan kepada sang ayah.
Ia kira, Abang nya itu akan marah sama seperti Rama, namun ia salah, Abang nya itu tidak ada di pihak, tidak terjerat jalan yang membingungkan. Sungguh, Syam sangat bersyukur karena Arkan mengatakan itu, semangat di hati nya mulai kembali.
Ia akan membicarakan masalah nya dengan Rama secara perlahan. Sesuai dengan perkataan Arkan.
"Makasih Abang..."
______
Menuju ending guyssss
Persiapkan diri kalian okey?
Satu clue.
Ending versi cetak dan wattpad saling berkebalikan, ngerti nggak?
KAMU SEDANG MEMBACA
Alrasyam Galendra [Ready Versi Pdf]
FanfictionSyam terpaksa membiarkan dirinya terikat oleh rantai emas tak kasat mata milik keluarga Ayahnya, demi menyelamatkan nyawa sang Bunda. __________________ "Ikutlah dengan Ayah jika masih ingin melihat jalang itu tetap bernafas" No plagiat!