Waktu berjalan seperti biasa, namun kenapa Syam merasa waktu berjalan lebih cepat dari biasanya. Netranya terus memperhatikan jam yang terus berjalan didinding kamarnya.
Setiap bunyi detik jam, semakin mempercepat detak jantungnya, rasa gelisah terus merundung hatinya, rasa takut akan perpisahan membuncah didadanya, menghilangkan rasa kantuk yang harusnya Ia rasakan.
Semalaman Ia tidak tertidur, menyebabkan lingkaran hitam disekitar matanya, perasaan sesak yang sama sekali belum pernah Ia rasakan, mengendalikan segalanya, pikiranya.
Netranya beralih kepada dua sosok yang tertidur diatas kasurnya, semalaman Ia berusaha meyakinkan Janna, namun kenapa Ia sendiri merasa tidak yakin.
Jam sudah menunjukan pukul enam pagi, berjam-jam yang Ia lakukan hanyalah memandang kedua orang yang terkasihi, menghapal wajah keduanya untuk disandingkan dengan bulan, disaat kerinduan menghampiri.
Berusaha meyakini hati bahwa perpisahan ini hanya sementara, tapi kenapa rasanya sulit sekali. Seakan tak akan ada lagi pertemuan setelah ini.
Langkahnya mendekati kedua sosok yang masih tertidur diatas kasurnya, tanganya tergerai untuk menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantik sang bunda, lalu mendudukan dirinya disamping sang bunda.
"Bun, bangun udah pagi" Ucap Syam pelan.
Sebenarnya Ia tidak tega membangunkan sang bunda yang baru beberapa jam lalu tertidur karna kelelahan menangis, namun Ia mencari alasan pagi untuk merasakan kehangatan sang bunda agar menyingkirkan kegelisahan hati.
"Eungg..." Perlahan namun pasti, mata Janna mengerjap pelan.
"Syam.." pemandangan yang sangat menyenangkan bagi Janna adalah ketika Ia membuka mata, putranya adalah orang yang pertama kali Ia lihat.
"Iya bunda, bangun gih, udah pagi" Syam mencoba menahan getaran disaat mengeluarkan suaranya, mengendalikan air mata yang memaksa keluar.
Bagaimana pun juga Ia hanyalah seorang pemuda lima belas tahun, yang dituntut kedewasaan oleh keadaan, bersikap dewasa untuk menenangkan hati rapuh sang bunda.
"Syamm.." bibir Janna mulai bergetar.
"Hustt bunda....dengerin Syam, ini hanya sementara, Syam janji sama bunda ini gak akan bertahan lama, kita hanya perlu berpisah sementara, setelah itu gak akan ada yang bisa misahin bunda dari Syam" Ucap Syam sambil tersenyum.
"Kalo bunda merasa ini berat, anggap aja Syam lagi sekolah ditempat yang sedikit jauh dari bunda, setelah lulus Syam janji bakal langsung kembali" lanjutnya, sejujurnya Ia hanya ingin menguatkan sang bunda.
Janna tersenyum simpul, merasakan bahwa putranya bersikap dewasa mengahadapi masalah ini, lalu kenapa Ia harus menangis, bukanya Ia yang biasanya menguatkan Syam saat ada masalah.
Janna meraih tangan Syam lalu mengecupnya sambil tersenyum "kita hadapi ini bersama" Ucapnya.
Syam tersenyum saat bundanya kembali menjadi sosok yang kuat, membuatnya meyakini hati bahwa Ia harus kembali apapun yang terjadi, demi sang bunda.
"Hiks....aku terhura loh.."
Sontak keduanya menoleh kearah muka bantal Nana, si pengrusak suasana. Setidaknya Nana selalu mencairkan suasana.
"Ish...dasar gangster betina, bisanya ngerusakin suasana"
Nana mendelik saat Syam menyebutnya dengan panggilan laknat itu, Janna hanya terkekeh melihat keduanya.
"Bunda sama kakak, harus kirim sinyal ke Syam kalo udah aman, nanti Syam langsung cari cara buat kabur" ucap Syam kembali kemode serius.
Janna dan Nana mengangguk serius, apapun yang terjadi mereka harus berhasil kabur ketempat yang aman tanpa sepengetahuan keluarga Galendra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alrasyam Galendra [Ready Versi Pdf]
FanfictionSyam terpaksa membiarkan dirinya terikat oleh rantai emas tak kasat mata milik keluarga Ayahnya, demi menyelamatkan nyawa sang Bunda. __________________ "Ikutlah dengan Ayah jika masih ingin melihat jalang itu tetap bernafas" No plagiat!