6| Terlalu Tiba-Tiba

36 9 85
                                    

-Berikan sedikit ruang agar aku bisa memahami-

***

Metari menatap dalam tulisan itu. Mengabikan rasa sakit hatinya, ia sudah terlanjut mengatakan jika ia akan bisa membuat Baruna menjadi kekasihnya. Jika tidak memenuhi syaratnya sama saja menjilat ludah sendiri.

Larut dalam patah hati, baginya hanya buang-buang waktu.

Otaknya mulai berkeja untuk memulai dari mana.

Berenang?
Bukan ide yang bagus, gadis itu sama sekali tidak bisa berenang, sekolah pun tidak menyediakan tenaga penyelamat orang tenggelam. Jangan sampai ia mati konyol hanya karena mencoba berenang di kolam sekolah.

Melukis?
Tidak perlu ia sudah sangat pandai dalam hal itu, kemampuan melukisnya sudah ia latih semenjak duduk di taman bermain.

Musik?
Pilihan yang paling tepat. Meski sejujurnya ia tidak terlalu mencintai musik, terlebih ia juga tidak bisa memainkan alat musik, namun setidaknya itu pilihan yang paling tepat. Tidak berbahaya dan di ruang musik juga dilengkapi dengan alat musik seperti gitar dan piano.

***

Metari menjinjitkan kaki, mengintip ke dalam ruang musik, ruangan itu sangat sepi, dari luar ia bisa melihat deretan alat musik yang terpajang begitu rapi. Baru saja jemari lentiknya menyentuh knop pintu, suara ketus itu berhasil membuatnya terlonjak.

"Ngapain elo disini?" ketusan itu terdengar mengudara. Metari sampai terlonjak kaget dibuatnya. Gadis itu mendengus mendapati Baruna yang melangkah memasuki ruangan musik.

"Ngagetin aja lo calon pacar," cerca Metari penuh percaya diri. Baruna tidak mendengarkan pria itu memilih memasuki ruang musik, menarik kursi, duduk tepat di depan piano.

Jemari tebal Baruna sudah menari indah melantunkan lagu "Boneka Abdi"

Lantunan nada merdu itu yang awalnya sempat Metari nikmati kini ia tersadar, lantunan melodi itu sering ia dengar di film horor, tanpa diminta gadis itu langusng terperanjat. Tanpa permisi ia menarik tangan Baruna yang langsung ditepis kasar oleh pria itu.

"Bar cukup Bar, nada itu buat gue merinding," pinta Metari memohon. Baruna melempar tatapan tajam.

"Gue lebih merinding karena liat muka elo," cebiknya kasar.

Metari diam, tersenyum kecut mendengar perkataan Baruna. Bayang-bayang pelukan Baruna dan Yessy terlintas begitu jelas dalam ingatannya. Ia menarik napas panjang, ronggan paru-parunya terasa sesak, namun susah payah gadis itu tersenyum. Ia tidak mau Baruna mengenalnya dengan Metari yang rapuh, ia ingin semua orang tahu jika Metari itu gadis cerita dan penuh rasa bahagia.

"Elo bisa main alat musik?" tanya Baruna tiba-tiba. Metari menggeleng. Raut puas terlihat jelas pada lekuk wajah Baruna. "Tetap aja berharap kalau gue jadi pacar elo, karena itu sama sekali enggak mungkin," tambahnya sarkas. Metari tidak mendengarkan. Gadis itu hanya diam, berusaha menahan sesak yang semakin terasa.

"Elo sendiri yang bakal minta gue buat main piano sama elo di acara pentas seni," cetus Metari asal. Baruna tertawa renyah, gadis di depannya itu sangat suka berharap pada sesuatu yang semu.

"Elo itu terlalu berharap, kalau pun gue perlu bantuan, nama lo yang bakal gue blacklist" cebik Baruna ketus.

Metari hanya membuang napas dalam. "Elo enggak pernah tahu masa depan, terkadang orang yang selalu elo remehin bisa jadi, dia yang bisa lakuin yang orang lain enggak bisa lakuin," balas Metari getir. Baruna langsung diam, bangkit berdiri menatap tajam manik Metari.

Happy Sunset Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang